Diet televisi tidak saja dapat melindungi anak dari tayangan yang berpotensi memiliki dampak negatif, tapi juga mempengaruhi selera anak. Lebih baik lagi jika Anda mendampingi anak setiap kali menonton televisi.
Sehatalami.co ~ Perlukah orangtua melakukan penyensoran terhadap acara televisi yang ditotonton anak-anak? Tentu saja perlu. Sebagaimana makan, menonton televisi pun memerlukan ‘diet’. Sebelum memperbolehkan anak menyaksikan suatu acara, orangtua sebaiknya telah menetapkan aturannya.
Bagaimana jika tayangan televisi sudah telanjur mempengaruhi tingkah laku anak? Anak yang manis tiba-tiba menjadi kasar atau anak pemberani tiba-tiba berubah menjadi cengeng?
Kebanyakan orangtua biasanya gusar jika anaknya menjadi agresif, suka memukul atau berkata buruk. Jika hal itu terjadi, selain mengurangi waktu menonton televisi dan menggantinya dengan kegiatan yang tidak merangsang agresivitas seperti berenang, anak perlu terapi hadiah dan hukuman (reward and punishment).
Berilah hukuman yang berarti, seperti pemotongan uang saku setiap kali anak melakukan kekerasan; dan berikan hadiah mainan, buku, atau makanan kecil yang disukai jika dalam waktu tertentu ia tidak bertindak agresif.
Membatasi waktu menonton televisi juga perlu diterapkan pada anak yang menjadi takut. Tapi selain itu, Anda harus selalu siap dengan berbagai penjelasan. Akan lebih mudah menjelaskan hal yang dilihat jika anak sudah berusia 7 tahun. Dengan pelukan dan mengkomunikasikan perasaannya, anak biasanya sudah bisa tenang.
Tapi menjelaskan pada anak yang masih kecil adalah suatu tantangan. Memberi pengertian pada anak bahwa kisah Harry Potter hanyalah khayalan dan dia hanya pura-pura diserang oleh troll (sejanis makhluk sihir) cukup menyulitkan.
Tayangan kekerasan dan tingkah laku agresif. Kekerasan di televisi dapat meningkatkan agresivitas melalui berbagai cara, antara lain:
1. Mengajarkan cara bertindak agresif
Melalui tayangan kekerasan, anak-anak dan remaja seperti mendapat pelajaran ‘ekstra kurikuler’ untuk bertindak agresif. Maki-makian adalah salah satu bentuk tingkah laku agresif yang paling mudah untuk ditiru, bahkan oleh anak perempuan sekali pun.
2. Dengan membangkitkan emosi
Peran orang yang jahat selalu membuat penonton kesal dan marah. Perasaan itu baru mereda jika ‘orang jahat’ tersebut celaka atau mendapat hukuman. Sayangnya tidak semua tayangan memberi jawaban bahwa yang jahat pasti dihukum (karena kenyataannya memang demikian). Emosi yang telah terbangkitkan merupakan potensi untuk bertingkah laku agresif jika seseorang merasa frustrasi.
3. Dengan menurunkan kepekaan terhadap kekerasan
Penelitian membuktikan bahwa anak yang sering menyaksikan kekerasan dalam film akan berkurang kepekaannya terhadap hal-hal yang bersifat kekerasan. Tawuran atau perang bukan lagi sesuatu yang perlu dikhawatirkan, karena ia sudah biasa melihatnya. Akibatnya rasa empatinya terhadap korban kekerasan berkurang.
4. Mengurangi kendali terhadap dorongan agresif
Dorongan untuk bertingkah laku agresif adalah sesuatu yang harus dikendalikan. Rasa marah bukanlah alasan untuk bertingkah laku agresif. Tapi anak yang terbiasa menyaksikan tayangan kekerasan dan melihat kekerasan tidak berdampak buruk, ia pun akan melakukannya.
5. Menganggapnya sebagai penyelesaian konflik
Dalam film laga, para jagoan biasanya membunuh penjahat. Hal itu dianggap wajar bahkan adil. Orang dewasa tentu saja memahami hal semacam itu hanya berlaku di dunia film, tapi anak-anak akan menganggap hal demikian itu benar. (SA)