Hari ini adalah hari batik. Banyak sekali motif dan bahan yang digunakan untuk membuat kain khas Indonesia ini. Mulai dari yang menggunakan bahan kimia hingga menggunakan bahan yang alami. Tidak sedikit pula pabrikan yang menjadikan batik alami ini sebagai produk andalannya.
Sedari awal batik adalah seni yang proses pemberian warnanya menggunakan bahan yang berasal dari alam lingkungan. Tentu hal ini tidak menimbulkan bahaya terhadap lingkungan. Tidak ada limbah yang merusak lingkungan. Namun kini batik banyak menggunakan bahan pewarna buatan yang acapkali menimbulkan bahaya eksosistem.
Sebagian para pengrajin batik menginginkan warna yang cepat dan berbiaya murah. Hal ini bisa diperoleh dengan pewarna buatan. Lain halnya dengan pewarna alami dimana proses dan bahan bakunya juga lebih mahal dan langka. Biasanya tumbuhan yang dapat dimanfaatkan sebagai pewarna alami dan ada disekitar kita seperti mangrove, jengkol, secang, rambutan, mengkudu, angsana dan mangga. Sedang bagian-bagian yang dimanfaatkan untuk pewarna alami mulai dari buah, daging dan biji, kulit, kayu, daun dan akarnya.
Ada banyak keunggulan menggunakan batik berbahan alami ini. Disamping unik juga mempunyai ciri khas. Meproduksi batik yang ramah lingkungan harus dengan menerapkan prinpip 5R yaitu Rethink (berpikir ulang), Reduce (mengurangi), Reuse (memanfaatkan kembali bahan bekas), Recovery (pemulihan kembali) dan Recycle (daur ulang).
Menurut Peneliti Balai Besar Kerajinan dan Batik Yogyakarta Dwi Suheryanto yang dilansir laman tempo.co pada tahun 2014 menyebutkan bahwa meskipun berbahan alam, warna batik tidak mudah pudar. “Saya punya kain batik yang sudah berumur 100 tahun dan warnanya masih bagus,” katanya.
Ternyata proses pembuatan pewarna alami batik cukup mudah. Bahan dasarnya adalah diambil dari bagian tumbuhan, seperti daun, kulit, batang, biji, buah dan bunga. Khusus untuk buah, pengrajin hanya perlu menumbuk dan mengambil sari-sari buah sebagai pewarna. Adapun untuk bagian tumbuhan lainnya harus direbus terlebih dahulu dengan perbandingan 1 kilogram bahan dicampur 10 liter air. Bahan tersebut direbus selama satu setengah jam hingga menghasilkan 5 liter ekstrak pewarna.
Adapun warna yang dihasilkan cukup beragam. Itu juga tergatung dari proses fiksasi atau pengikatan warna. Untuk warna pekat, dianjurkan menggunakan tanjung atau tenosulfat. Adapun kapur menghasilkan warna lebih muda, sedangkan tawas mebuat warna lebih terang. Semakin sering batik dicelup maka akan semakin awet warnanya. Disarankan pula kain yang digunakan adalah sutra, wool, rayon, dan katun, dalam pembuatan batik alam. “Kain itu bisa membuat warna batik awet,” tuturnya.
Sedangkan untuk merawat kain batik yang menggunakan pewarna alami disarankan untuk menggunakan lerak ketika mencucinya. Bila tidak ada lerak, dapat juga menggunakan sampo. Menurut mengucek kain batik tidak akan merusak warna namun tetap harus memperhatikan material kain tersebut.