“Karena kita ada PKS (perjanjian kerja sama) dengan Perum Perhutani, hasil penyulingan itu dijualnya ke Perum dihargai Rp265 ribu per kg,” kata Ketua Kelompok Tani Wonolestari I, Sojo.
Sehatalami.co ~ Indonesia memiliki banyak tanaman berkhasiat obat, meski banyak yang mengatakan potensi besar tersebut belum dimaksimalkan. Di tengah upaya budidaya yang masih sedikit itu, ada cerita sukses dari petani Kayu Putih di Desa Wonoharjo, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali.
Kita mungkin belum cukup familiar dengan jenis kayu putih yang merupakan bahan baku minyak kayu putih. Kayu putih ini sejatinya merupakan salah satu obat-obatan yang paling diandalkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Minyak kayu putih selain memberi sensai hangat di tubuh, aroma wanginya juga khas, sehingga banyak disukai oleh masyarakat. Sayangnya sejauh ini belum banyak yang tahu, jika kayu puytih ternyata bisa dibudidayakan dan menjadi sumber penghasilan. Alias bisa menjadi lahan bisnis yang menggiurkan, khususnya bagi pecinnta tanaman obat.
Menurut petani
Dikuitp dari laman detik.com, Ketua Kelompok Tani Wonolestari I, Sojo, mengungkapkan bahwa merawat tanaman kayu putih cukup mudah. Sebab, tanaman ini bisa hidup di berbagai jenis lahan. Bahkan orang yang memiliki lahan di rumah pun bisa menanamnya, lho.
Mudah ditanam
Diceritakannya, bahwa tanaman kayu putih merupakan tanaman yang jarang dihinggapi hama jika sudah tumbuh besar. Sehingga risiko untuk gagal panen pun cenderung sedikit. Hama tanaman kayu putih adalah rayap, itu pun hanya menyerang tanaman yang masih berusia muda.
“Untungnya kayu putih itu nggak rewel, nggak terlalu banyak hal yang harus diperhatikan. Paling ya ditanam, kemudian langsung diberi pupuk, sama dipanen di waktu yang tepat, sekitar 6 bulan sekali di musim kemarau,” jelasnya beberapa waktu lalu.Ia pun mengungkapkan cara petani Wonoharjo menanam kayu putih hingga berhasil sampai sekarang.
Para petani sebelum melakukan penanaman, biasanya akan membuat pembibitan kayu putih terlebih dahulu. Pembibitan ini dilakukan agar tak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk membeli bibit pohon kayu putih. “Dari petani sudah membuat pembibitan, pembibitannya kemarin dapat 60 ribu pohon, sekarang sudah ditanam habis,” tambahnya.
Metode penanaman
Setelah pembuatan bibit dilakukan dengan cara stek untuk mengurangi risiko gagal tumbuh jika dibandingkan menggunakan tebar benih, selanjutnya proses penanaman dilakukan. Jika tidak memiliki bibit, para petani bisa membeli bibit bibit stek kayu putih, dengan harga Rp1.500 saja per batang.
Selanjutnya, bibit kayu putih yang sudah siap tanam tersebut, di tanam dengan dengan jarak tanam antara 2 x 3 meter.
“Dari petani dirintis, untuk tanaman kayu putihnya agak dirapatkan. Ini tanamannya kan dulunya 4 x 3 meter, sekarang dirapatkan menjadi 2 x 3 meter supaya hasilnya dari kayu putih lebih banyak gitu,” kata Sojo, Ketua Kelompok Tani Wonolestari I sebagaimana diceritakan kepada detik.com.
Sehingga, sekarang dalam satu hektare lahan, para petani bisa menanam 6.000 pohon jika ditanam dengan jarak jarak tanam 2 x 3 meter. Dari 6.000 pohon itu akan menghasilkan 18 ton daun kayu putih yang bisa menghasilkan kurang lebih 126 kilogram (kg).
Perlu proses penyulingan
Setelah proses tanam, beriutnya adalah masa panen dan proses penyulingan minyak. Para petani di desa ini amat terbantu karena telah ada alat penyulingan hasil dari Corporate Social Responsibility (CSR) BRI.
Ketua Kelompok Tani Wonolestari I, Sojo, mengatakan ada dua alat penyulingan yang dimanfaatkan oleh para petani di tempatnya. Dalam sehari, dua alat tersebut bisa menghasilkan sekitar 28 kg minyak kayu putih.
Lebih lanjut ia menjelaskan proses para petani di tempatnya memproduksi kayu putih, mulai dari pemetikan daun, penyulingan sampai menjadi minyak.
“Proses pemetikan dari petani memetik daun langsung ditempatkan di karung-karung itu, katakan dapat 10 karung langsung bisa dibawa pakai sepeda motor. Mengingat jalannya masih belum bagus, jadi bawanya pakai sepeda motor, dibawa ke pabrik sini,” kata Sojo kepada detikcom beberapa waktu lalu.
Sebelum diproses menjadi minyak, karung-karung berisi daun kayu putih itu ditimbang terlebih dahulu. Di Wonoharjo, petani akan mendapatkan upah Rp400 untuk tiap kilogram (kg) daun kayu putih yang mereka petik dari Perhutani selalu penampung hasil produksi dari petani.
Usai ditimbang, daun kayu putih itu pun dimasukkan ke dalam sebuah ketel berukuran besar untuk dimasak. “Satu ketel itu memuat satu ton daun. Terus dimasak 6 jam untuk menghasilkan minyak 7 kg (minyak kayu putih). Satu hari itu biasanya masak dua kali, pagi sampai siang terus lanjut siang sampai sore,” jelasnya.
Saat proses memasak, lanjut Sojo, ketel juga harus dipastikan tertutup rapat agar uap yang muncul dapat menghasilkan minyak kayu putih secara maksimal. Proses pemasakkan juga harus terus ditunggu agar minyak kayu putih terolah dengan baik dan hasil minyaknya tidak berkurang. Setelah masak, minyak itu pun kemudian ditampung dalam tangki besar.
“Karena kita ada PKS (perjanjian kerja sama) dengan Perum Perhutani, hasil penyulingan itu dijualnya ke Perum dihargai Rp265 ribu per kg,” ucapnya.
Para petani kayu putih di Desa Wonoharjo, Kecamatan Kemusu, Kabupaten Boyolali.
pun bersyukur, penambahan alat penyulingan dari BRI telah membantu menambah produktivitas, efektivitas serta penghasilan dari petani. Sebab, ketika satu alat suling mampu hasilkan 14 kg minyak kayu putih per hari, kini dengan 2 alat suling mampu menghasilkan 28 kg minyak kayu putih per hari.
“Dengan adanya tambahan alat suling dari BANK BRI, saya sebagai petani berterima kasih nanti bisa menambahkan hasil untuk pemasakan daun kayu putih dan bisa menambah penghasilan juga untuk kelompok. Karena kan dulu cuma 2 kali masak, sekarang jadi bisa 4 kali masak, selain bisa menambah penghasilan, juga bisa mempercepat kinerja,” pungkasnya. (SA)