Data terbaru per 30 Oktober 2019, total jumlah penyelenggara fintech terdaftar dan berizin di OJK telah mencapai jumlah cukup banyak, yaitu 144 perusahaan. Sembilan diantaranya terdaftar sebagai fintech syariah. Apasih fintech syariah itu? Kepoin, yuk!
Sehatalami.co ~ Dewasa ini hampir semua transaksi keuangan bisa dilakukan dengan menggunakan uang digital seperti Gopay, Ovo, dan banyak lainnya. Hanya dengan menggunakan smartphone kita bahkan bisa ransaksi apa saja. Mulai dari transfortasi seperti ojek, bahkan tiket busway, dan KRL bisa dilakukan hanya dengan mengklik smartphone.
Transaksi model ini merupakan jenis transaksi yang menggunakan financial technology atau fintech. Secara umum, Fintech merupakan inovasi di bidang jasa keuangan. Fintech boleh dikata merupakan jenis inovasi di bidang transaksi keuangan yang paling menghebohkan belakangan ini.
Kehadiran fintech bahkan diramalkan bakal men-disrupsi transaksi konvensional menggunakan uang kertas, sebab keberadaan financial technology diramal dapat mengubah kebiasaan orang dalam bertransaksi dari mata uang kertas dan logam ke model transaksi yang lebih efesien dan aman dengan mata uang digital.
Di Indonesia sendiri, perkembangan fintech cukup pesat. Dalam kurun 10 tahun terakhir, tercatat ada lebih dari 180 perusahaan yang mendaftarkan diri ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Data terbaru per 30 Oktober 2019, total jumlah penyelenggara fintech terdaftar dan berizin di OJK telah mencapai jumlah cukup banyak, yaitu 144 perusahaan.
Sisanya tengah mengajukan surat konfirmasi tersebut kepada OJK. Itu mengapa, kedepannya perkembangan fintech diramalkan bakal sangat pesat, sehingga fintech dikhawatirkan bisa menggesar peran bank konvensional dalam transaksi bisnis dan keuangan.
Ada juga fintech Syariah
Uniknya, selain fintech konvensional, di Indonesia juga muncul jenis fintech Syariah. Di awal tahun 2018 lalu, juga mulai bermunculan beberapa fintech Syariah, yaitu jenis fintech yang mendasarkan prinsip transaksinya sejalan dengan prinsip dasar-dasar Syariah atau aturan agama Islam. Lalu dimana letak perbedaannya dengan fintech konvensional?
Secara fungsional tidak ada perbedaan dengan fintech konvensional. Keduanya sama-sama memberikan jasa layanan transaksi di bidang bisnis dan keuangan. Perbedaan fintech Syariah dari konvensional hanyalah terletak pada kesepakatan transaksi atau akad pembiayaannya saja.
Pada fintech Syariah diatur sesuai dengan prinsip transaksi sesuai dengan aturan-aturan dari syariat islam sementara fintech Syariah tidak berdasarkan pada ketenuan prinsip Syariah.
Menurut Ronald Yusuf Wijaya, Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) setidaknya ada tiga prinsip syariah yang harus dimiliki fintech ini, yaitu tidak boleh maisir (bertaruh), gharar (ketidakpastian) dan riba (jumlah bunga melewati ketetapan).
Dalam operasional dan pelaksanannya, fintech Syariah ini mengacu pada ketetapan yang telah di buat oleh Dewan Syariah Nasional terkait dengan keberadaan financial technology syariah ini. Dasarnya adalah ketetapan Dewan Syarian Nasional (DSN) MUI No.67/DSN-MUI/III/2008 yang mengatur tentang ketetapan apa saja yang harus diikuti lembaga teknologi keuangan terbaru di Indonesia tersebut.
wHingga September 2018 lalu, baru ada 4 perusahaan teknologi keuangan syariah yang diresmikan oleh OJK. Namun berdasarkan data terbaru OJK per Agustus 2019, dari total 127 startup fintech yang terdaftar, terdapat 9 fintech syariah. Sisanya, ada lebih dari 90% pemain fintech di Indonesia masih berstatus konvensional.
Lantas, walaupun berdasarkan syariah, apakah orang yang menunda pembayaran peminjaman akan dikenakan denda? Jika berkaca terhadap fatwa Dewan Nasional Syariah, jawabannya iya. Fatwa DSN MUI No.17/DSN-MUI/IX/2000 mengatur jika sanksi akan diberikan kepada nasabah yang tidak melunasi hutangnya pada tenggat waktu tertentu.
Perkembangan Fintech Berbasis Syariah
Financial Technology sistem syariah pertama kali hadir di Dubai, Uni Emirat Arab. Pada tahun 2014 silam, Beehive berhak mendapatkan sertifikat yang pertama dengan menggunakan pendekatan peer to peer lending marketplace.
Hingga saat ini, Beehive menjadi salah satu lembaga teknologi keuangan terkemuka di dunia dengan cakupan pasar yang sangat luas. Berawal dari Beehive, fintech berbasis syariah pun menjalar ke negara Asia lainnya, semisal Singapura dan Malaysia.
Di Malaysia, Hello Gold pun muncul dengan menggunakan teknologi blockchain yang mana juga menggunakan prinsip-prinsip syariah. Secara perlahan tapi pasti, para pemain fintech ini pun juga menjalar ke Indonesia. Semua fintech berasaskan syariat islam itu pun sama, yakni tidak mengunakan riba sehingga diklaim aman sebab bunga yang diberikan sudah sesuai dengan ketentuan islam.
Menurut OJK, sekitar 40% masyarakat di Indonesia masih belum bersentuhan dengan pihak perbankan. Dengan kata lain, jumlah tersebut belum pernah membukan akun apapun di bank nasional. Namun, di sisi lain, hampir semua penduduk di tanah air telah memiliki smartphone. Jadi kesimpulannya, keberadaan fintech memang bisa menjadi ancaman bagi bank konvensional yang belum mengikuti perkembangan jaman, yakni menggunakan teknologi ke dalam sistem keuangannya.
Konsep Akad Fintech Bidang Syariah
Sebagai lembaga pengawas, OJK memang belum memberikan regulasi pasti terhadap keberadaan perusahaan teknologi keuangan berbasis syariah. Jadi, aturan fintech konvensional dan syariah masih sama. Namun, Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa jika para fintech syariah harus mengikuti aturan dalam islam, salah satu yang menjadi masalah terpenting adalah riba atau bunga yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Selain masalah riba, akad dalam fintech ini juga harus sesuai dengan akad mudharabah dan musyarakah.
Akad Mudharabah: Teknik kerja sama antara pemilik modal dan pengelola dana. Kedua pihak tersebut akan saling bertemu dan menentukan berapa besaran keuntungan yang akan dibagi secara adil. Namun, apabila ada kerugian, pemilik modal harus bertanggung jawab kecuali keteledoran yang dilakukan oleh pihak pengelola dana.
Akad Musyarakah: Teknik kerja sama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih yang mana menggunakan sistem bagi rata. Dengan kata lain, si pemilik modal dan pengelola dana akan mendapatkan keuntungan yang sama sesuai dengan kesepakatan awal. Namun apabila ada kerugian, kedua pihak juga harus bertanggung jawab dengan beban yang sama. (SA)