Diperkirakan 1,7 miliar penduduk dunia akan mengalami krisis air. Dikhawatirkan hal tersebut akan menimbulkan konflik sosial.
SehatAlami.co ~ Menurut penelitian dari World Resources Institute (WRI) penduduk di 400 wilayah di dunia hidup dalam kondisi “kekurangan air yang ekstrem”. Lembaga riset yang berkantor di Washington DC menyebutkan bahwa pertumbuhan penduduk, tingginya konsumsi daging dan peningkatan kegiatan ekonomi menjadi penyebab tekanan terhadap sumber air di dunia. Kelangkaan air tersebut dikhawatirkan akan membuat jutaan orang terpaksa mengungsi. Bahkan akan menjadi faktor penyebab konflik dan ketidakstabilan politik.
Ada sepertiga penduduk dunia -2,6 miliar jiwa – hidup di negara dengan keadaan “tekanan ketersediaan air tinggi”. Dari jumlah tersebut ada 1,7 miliar orang di 17 negara digolongkan hidup dalam “tekanan air ekstrem” menurut WRI.
Data ini dibuat oleh WRI di platform Aqueduct 3.0 yang menganalisa beberapa model hidrologis dan menghitung berapa air yang diambil dari sumber-sumber permukaan dan bawah tanah di tiap wilayah dibandingkan dengan keseluruhan air yang tersedia. Ketika rasio air yang diambil mencapai 80% dari total, maka daerah itu digolongkan “tekanan air ekstrem”. Sedangkan kategori di bawah itu adalah “tekanan air tinggi” dengan rasio 40-80%.
Laman bbcindonesia melansir bahwa Antara tahun 1961 dan 2014, rata-rata pengambilan air segar dari tanah dan permukaan meningkat 2,5 kali lipat. Permintaan untuk irigasi tanaman meningkat dua kali lipat dalam setengah abad terakhir. Menurut WRI, irigasi mengambil 67% penggunaan air setiap tahunnya.
Industri di tahun 2014 memakai air tiga kali lipat dibandingkan tahun 1961, dan kini mencapai 21% dari keseluruhan penggunaan air. Rumah tangga bertanggung jawab terhadap 10% penggunaan air, dan ini merupakan peningkatan enam kali lipat dibanding tahun 1961.
Hanya sedikit persentase air yang diambil dari sumber hidrologis diberikan kepada ternak. Air yang dipakai untuk mengairi tanaman untuk ternak mengambil 12% dari penggunaan air irigasi global. Maka jika kita mengurangi konsumsi daging, hal itu bisa membantu mengurangi tekanan terhadap sumber air.
Negara Meksiko, Chile, beberapa daerah di Afrika, Eropa selatan dan kawasan Laut Tengah ditemukan bahwa tekanan ketersediaan air di sana mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Sedangkan Eropa bagian selatan dan negara-negara Mediterania mengalami tekanan, dan ini diperburuk karena pemfokusan sumber daya alam untuk kepentingan industri pariwisata.
Negara-negara yang berada di kawasan kering di Timur Tengah merupakan yang paling tinggi “tekanan ketersediaan air”-nya, sementara itu India “menghadapi keadaan kritis dalam penggunaan dan pengelolaan air yang bisa berdampak pada kesehatan maupun pembangunan ekonomi mereka”. Pakistan, Eritrea, Turkmenistan, dan Botswana juga dianggap dalam keadaan tekanan ketersediaan air yang ekstrem.
Salah satu yang terburuk adalah India, di mana sembilan dari 36 negara bagiannya digolongkan dalam tekanan air tinggi. Di sisi lain kota Chennai ibukota negara bagian Tamil Nadu mengalami banjir dan kekeringan yang sama buruknya.
Krisis air bisa akan terus berlanjut
Menurut laporan itu, “Krisis air berkelanjutan di Chennai memperlihatkan tantangan yang akan dihadapi India beberapa tahun ke depan. Ini diperburuk oleh pengelolaan air yang buruk dan peningkatan permintaan air dari industri dan rumah tangga.
Ibu kota Rusia, Moskow dan ibu kota China, Beijing juga digolongkan dalam “tekanan ketersediaan air ekstrem” sekalipun kedua negara itu tak termasuk golongan tersebut. Anggota tim peneliti, Rutger Hofste menyatakan adanya “kejutan” di Eropa selatan di mana turisme menyebabkan tekanan terhadap persediaan air pada musim panas.
Lebih dari 20 wilayah di Italia termasuk dalam “tekanan air ekstrem”. Hal sama juga terjadi pada 27 dari 81 provinsi di Turki. Cape Town di Afrika Selatan mengalami kekurangan air yang parah di tahun 2018. Tanjung Barat di Afrika Selatan dan sepuluh distrik di Botswana serta sebagian Namibia dan Angola digolongkan dalam “tekanan air tinggi”.
Beberapa lembaga PBB memperingatkan bahwa perubahan iklim akan membuat ketersediaan air jadi makin tak terduga. Meningkatnya suhu dan perubahan curah hujan bisa mengurangi hasil panen di kawasan tropis, di mana ketahanan pangan sudah merupakan persoalan tersendiri, menurut WHO.
Menurut lembaga Konvensi PBB untuk Melawan Kekeringan, berdasarkan tren yang ada, kelangkaan air di daerah kering akan memaksa 24 hingga 700 juta orang mengungsi di tahun 2030. Beberapa negara yang mengalami tekanan air berada di wilayah konflik dan air mungkin menjadi salah satu faktor terjadinya konflik tersebut. (SA)