Ingin memiliki taman indah di pekarangan rumah atau teras, tetapi lahan yang tersedia terbatas? Cobalah beralih ke taman vertikal. Hasilnya, tak kalah cantik, lho…
Sehatalami.co ~ Belakangan trend kembali ke alam sebagai salah satu solusi untuk menciptakan hidup yang lebih seimbang mulai menemukan momentumnya. Senapas dengan gerakan ini, keinginan untuk menciptakan ruang terbuka hijau dan lingkungan yang lebih sehat di lahan terbatas, baik di pekarangan rumah maupun di lingkungan perkantoran, juga semakin tumbuh.
”Bagaimanapun ruang terbuka hijau sangat diperlukan, ” ujar Ir Slamet Budiarto, ahli dan praktisi taman outdoor dari Godongijo – Green Globe Inspiration, Pamulang, Tangerang, Banten. Diperlukan, terutama untuk membantu mengalirkan udara sejuk dan segar sebagai sumber oksigen untuk kehidupan, mempercantik tampilan rumah atau gedung, sekaligus menjadi tameng atau penyaring dampak udara kotor di sekitar rumah dan perkantoran.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin bisa leluasa menanam banyak pohon, rumput, atau tanaman hias jika lahan yang tersedia sangat terbatas. ”Jika ini masalahnya, vertical garden atau taman tegak bisa menjadi solusinya, ” kata Slamet Budiarto.
Jawaban untuk lahan terbatas
Sama halnya dengan roof garden di atap, vertical garden (Vega) juga bisa menjadi jawaban tepat untuk mengatasi keterbatasan lahan. Keduanya merupakan upaya memindahkan ruang hijau yang terpakai untuk bangunan ke area bangunan secara vertikal atau ke atas atap. ”Lewat Vega ini, ruang-ruang kosong yang sebelumnya diabaikan ternyata bisa didesain menjadi taman yang cantik dan indah di pandang mata, ” ujarnya.
Vega adalah konsep taman tegak, yaitu tanaman dan elemen taman lainnya yang diatur sedemikian rupa dalam sebuah bidang tegak. Dengan konsep ini, ruang tanam bisa jauh lebih besar dibandingkan taman biasa. Bahkan jumlah tanaman yang dapat ditanam bisa beberapa kali lipat sehingga dapat menambah ruang hijau secara sangat signifikan.
Sebagai perbandingan lahan seluas satu meter persegi yang biasanya paling banyak hanya dapat menampung 10 sampai 15 tanaman hias dalam pot, dengan konsep Vega bisa menampung 50 hingga 60 jenis tanaman yang berbeda.
Slamet Budiarto, yang secara khusus mulai mengembangkan desain taman tegak sejak 2009 ini menuturkan, vertical garden ini mulai diperkenalkan oleh ahli botani asal Prancis, Patrick Blanc, sejak 1995. Mengutip teori Patrick Blanc dalam bukunya The Vertical Garden, from Nuture to The Cities, Slamet Budiarto menjelaskan, dalam keadaan tertentu tumbuhan tidak memerlukan tanah sebagai media tanam. Tanah hanyalah penyokong mekanis yang bisa digantikan oleh media lain.
Peran terpenting bagi kehidupan tumbuhan adalah suplai air yang cukup, cahaya matahari yang sesuai, serta beberapa mineral (pupuk) yang diperlukan bagi pertumbuhan. ”Kurang lebih sama dengan konsep tanaman hidroponik yang tidak mengandalkan tanah sebagai media tanam. Namun tentu saja, tidak semua jenis tanaman yang bisa ditanam secara hidroponik bisa diaplikasikan dalam bentuk Vega, ” ujarnya.
Prinsip utama yang mesti diperhatikan dalam Vega adalah memilih jenis tanaman tahunan agar dapat bertahan selama mungkin, bukan jenis tanaman musiman yang akan segera mati setelah berbunga atau berbuah, sehingga secara ekonomis, perawatannya jadi lebih efisien.
Prasyarat lainnya, pemilihan dan penempatan jenis tanaman harus sesuai dan diatur penempatannya berdasarkan karakteristik dan ciri khas masing-masing tanaman. Sebagai contoh, jenis tanaman panas harus ditempatkan di
bidang yang mudah terkena terik matahari (full sun), sebaliknya jenis tanaman perdu yang hidup dalam naungan harus ditempatkan pada bidang yang terlindung dari cahaya langsung panas matahari.
Begitu juga jenis tanaman yang hidup di air harus ditempatkan pada bidang yang memiliki kelembaban tinggi, sementara jenis tanaman yang biasa hidup di lahan kering atau sedikit air, seyogyanya ditempatkan pada bidang atas Vega yang cenderung cepat kering.
Prinsip lain yang perlu diperhatikan adalah pemilihan jenis tanaman hias. Untuk mempermudah perawatan, jenis yang dipilih adalah yang tergolong tanaman serap/semak, yang memiliki ketinggian maksimal sekitar 50 sampai 60 cm. ”Dengan begitu, jika ditanam di ketinggian 20 meter misalnya, kita tidak harus repot melakukan pemangkasan, ” tutur Slamet Budiarto.
Beberapa jenis tanaman hias ini cukup banyak. Sebut saja, begonia, walisongo, hoya bulat, pakis, dracaena golden, hema, scandes, irish, pandan, burlemax, dan homalomena.
Namun demikian, semua jenis tanaman ini harus melalui tahap adaptasi kurang lebih sebulan lamanya, yaitu diangkat dari polibagnya untuk dicuci akarnya sampai bersih, lalu disemai dalam ruang khusus sampai akarnya kembali tumbuh sebelum tanaman siap diaplikasikan ke dalam Vega.
Bisa untuk rumah sampai mall
Salah satu keunikan Vega adalah dapat diaplikasikan di berbagai bangunan dari rumah hingga mall (outdoor maupun indoor), pagar, carport, serta dinding-dinding pembatas lainnya, sehingga terlihat lebih indah dan tidak monoton berupa dinding yang keras, tetapi lebih terkesan alami, bahkan dapat menyerupai lukisan yang cukup artistik.
Beberapa contoh, Vega karya Slamet Budiarto yang bisa dinikmati di beberapa titik di Jakarta ada di Musium Bank Indonesia Kota, Grand Indonesia East Mall, Gedung GKBI, Semanggi, Summarecon Mall 2 BSD, Tangerang, dan Haris Condotel, Sunset Road, Bali serta The Stone Hotel, Pantai Kute, Bali. Di berbagai perumahan di Jakarta Timur, konsep Vega antara lain dapat dijumpai di beberapa perumahan seperti, di kawasan Kelapa Gading, Villa Artha Gading, Pulo Gadung, dan di kota-kota besar lain di Indonesia.
Menurut Slamet Budiarto, sejak Patrick Blank mulai mengembangkan konsep Vega sebagai salah satu solusi menciptakan ruang terbuka hijau di lahan terbatas di berbagai kota dan negara di tahun 1995, Vega terus tumbuh dan makin populer. Salah satu karya Parick Blank yang banyak dikenal di Asia Tenggara adalah di Siam Paragon Building, Bangkok, Thailand. Beberapa tahun terakhir, Thailand bahkan mulai dikenal sebagai penggerak utama Vega di Asia Tenggara, diikuti oleh Singapura.
Sedangkan di Indonesia, konsep Vega masih belum dikenal secara luas. ”Meski demikian, diproyeksikan di tahun-tahun mendatang, Vega akan menjadi salah satu tren yang meluas di dalam negeri, ” kata Slamet optimis. (N)
3 Model Vega : Dari Pot Sampai Media Khusus
- Adaptasi dari vertikultur. Cara ini adalah yang paling sederhana. Vertikultur biasa dipraktikkan untuk berkebun atau menanam sayuran atau tanaman semusim. Konsep verti garden ini coba diaplikasikan dengan memanfaatkan tanaman hias atau tanaman tahunan, tetapi masih dengan menggunakan media tanam biasa dengan wadah seperti pot, lalu disusun secara vertikal. Sistem penyiraman pun masih manual, menggunakan selang.
- Sistem Modul. Konsep Vega dengan sistem modul (VGM) ini sebetulnya sudah mulai populer. Prinsip utamanya adalah menggunakan felt sebagai media tanam. Felt ini bentuknya seperti keranjang dari plastik berukuran 50 x 60 centimeter dan diisi dengan tanah. Setelah ditanami tanaman hias, lalu ditaruh secara vertikal dengan menggunakan penampang (frame) dari besi, dranaise juga sudah diatur dengan sistem otomatis, sehingga penyiramannya tidak lagi menggunakan selang. Kelemahannya, selain strukturnya yang berat karena menggunakan besi untuk penampang, felt sebagai media tanamnya juga masih harus diimpor, sehingga harganya juga masih mahal.
- Media Khusus. Menurut Slamet Budiarto, konsep Vega yang paling banyak diadopsi di Eropa adalah seperti yang dikembangkan oleh Partick Blanc. Lebih efisien, murah, dan simpel dalam pengerjaannya, karena media tanam yang dipakai adalah karpet glass wool yang disusun rangkap dua (bagian belakang sebagai penampang dan bagian depan disayat untuk memasukkan tanaman, sayatan berjarak sekitar 12, 5 cm, sehingga dapat menampung sekitar 64 jenis tanaman per meter perseginya).
Sebagai penampang digunakan baja ringan (zincalume), kemudian karpet glass wool dipasang dan ditempelkan dengan baut ke frame, yang bisa ditempatkan di dinding atau sesuai kebutuhan, dengan bantuan besi siku.
Selanjutnya irigasi dan pemupukan diatur secara otomatisasi dengan drip, sehingga bisa mengalirkan air serta pupuk secara periodik setiap dua jam sekali selama 5 menit untuk menjamin suplai air tercukupi. ”Dari sisi ekonomis, sistem ini juga cukup terjangkau, karena per meter perseginya hanya membutuhkan investasi sekitar Rp 1, 8 juta sampai Rp 2, 4 juta, ” ujar Slemat Budiarto. (SA)