Tahun 1992, konferensi pangan sedunia yang berlangsung di Roma dan Geneva, yang diadakan oleh Food and Agriculture Organization (FAO), badan pangan dunia, menetapkan agar semua negara berkembang yang semula menggunakan slogan sejenis Basic Four menggantinya dengan konsep Nutrition Guide for Balance Diet.
Sehatalami.co ~ Tahukah Anda jika sebenarnya, pedoman Empat Sehat Lima Sempurna yang mengacu pada Basic Four memang sudah lama kadaluwarsa. Demikian kata Prof Soekirman, SKM, MPS-ID, PhD, pakar gizi dan kebijakan pangan, dalam sebuah konferensi pers bertajuk “Sehat dan Bugar Berkat Gizi Seimbang”, di Hotel Akmani, Jakarta, beberapa tahun lalu.
Konsep The Basic Four Guide yang menggolongkan makanan menjadi empat kelompok yakni sereal, daging, susu, dan sayuran,dimunculkan di Amerika pada tahun 1940-an, ketika Amerika sendiri belum lama mengenal ilmu gizi. Nyatanya, setelah konsep tersebut berjalan selama sekitar 20 tahun, pola makan Amerika justru cenderung memburuk. Konsumsi daging, serealia, tepung, lemak, minyak, gula, dan garam meningkat tajam. Sebaliknya, konsumsi sayur dan buah justru menurun.
Akibatnya, kasus obesitas, penyakit gangguan metabolisme, dan degeneratif melonjak drastis. Dari kondisi tersebut, para ilmuwan mulai menyadari bahwa pedoman makan tidak hanya bermanfaat mengatasi kurang gizi, namun juga sangat berperan terhadap munculnya penyakit.
Tahun 1970-an, konsep tadi mulai direvisi. Pada prinsipnya, pemerintah Amerika menyarankan agar masyarakatnya meningkatkan konsumsi karbohidrat, mementingkan peran protein dan produk susu, serta mengurangi makanan yang berlemak, berkolesterol, bergaram, dan bergula.
Pada tahun 1988, pemerintah mulai memperkenalkan kelompok makanan yang digambarkan dengan piramida (lihat gambar). Tiga tahun kemudian, United States Department of Agriculture, resmi merilis gambar piramida makanan yang diberi nama The Food Guide Pyramid.
Dalam piramida tersebut, kelompok makanan yang mengandung karbohidrat diletakkan di bagian paling bawah, diikuti oleh kelompok sayur dan buah, kelompok daging, unggas, ikan, telur, dan produk susu, kemudian yang paling atas adalah kelompok lemak, minyak, dan gula. Jika diletakkan di bawah, artinya kelompok makanan tersebut dikonsumsi lebih banyak. Semakin ke atas, konsumsinya lebih sedikit.
Meskipun dipandang lebih baik, anjuran ini mengalami kontroversi. Sebagian kalangan mempertanyakan mengapa produk susu harus digambarkan secara khusus dalam piramida.
Selain itu, mereka menilai pedoman tersebut tidak memiliki dasar ilmiah. Marion Nestle, dalam bukunya yang berjudul Food Politics: How The Food Industry Influences Nutrition and Health (University of California Press, 2002), bahkan mengungkapkan, kebijakan tersebut lebih disebabkan faktor politik. Di antaranya, agar komoditi dagang Amerika – terutama gandum dan produk susu – bisa memperoleh pasar lebih luas.
Rentan salah paham
Terlepas dari kontroversi tersebut, Dr Walter Willet, ilmuwan dari Harvard School of Public Health mengatakan, piramida tersebut rentan salah paham.
Penggolongan komponen makanan yang hanya berdasarkan pada proporsi akan menimbulkan anggapan bahwa semua jenis karbohidrat, protein, dan produk susu itu baik, sehingga cenderung dikonsumsi secara berlebihan. Sebaliknya, semua jenis lemak dan minyak akan dikira jahat dan harus dihindari.
Faktanya, karbohidrat terdiri dari dua jenis, yaitu karbohidrat kompleks dan sederhana. Jika tidak dijelaskan secara khusus karbohidrat seperti apa yang dimaksud, Willet menilai, anjuran mengonsumsi sebanyak 6-11 porsi per hari sudah terlalu berlebihan.
Padahal, semua bentuk karbohidrat sederhana seperti nasi, mi, roti, dan sejenisnya, dengan cepat melonjakkan kadar gula dalam darah dan mengakibatkan meroketnya insulin.
Efeknya, insulin akan berusaha menekan dengan mengeluarkan hormon eikosanoid buruk yang berpotensi memicu peradangan sel, menurunkan sistem kekebalan, membuat darah menjadi lebih kental sehingga memicu penyempitan pembuluh darah dan perbanyakan sel-sel abnormal.
Lagipula, tidak semua makanan sumber protein layak dikonsumsi setiap hari. Sebagai contoh, daging merah memang kaya protein, namun juga mengandung lemak jenuh dan kolesterol tinggi sehingga harus dibatasi. Sementara sumber protein lain seperti ikan, ayam, kacang-kacangan, dan biji-bijian justru lebih baik sehingga bisa dikonsumsi lebih sering.
Begitu juga dengan lemak. Lemak bersifat jenuh yang terdapat dalam minyak goreng, mentega, dan margarin, misalnya, memang tidak baik. Namun lemak yang berasal dari biji-bijian seperti kemiri, kacang mete, alpukat, serta minyak zaitun – selama tidak digoreng – merupakan sumber lemak yang bagus. Ini disebabkan mekanisme kerja dan perannya pada tubuh kita justru berlawanan dengan lemak jenuh.
Yang terakhir adalah produk susu yang dipandang istimewa karena merupakan sumber kalsium tinggi. Menurut Willet, kalsium tidak perlu digembar-gemborkan sehingga cenderung dikonsumsi berlebihan.
Beberapa studi menemukan, terlalu banyak kalsium diduga justru dapat meningkatkan risiko gangguan jantung, pembuluh darah, osteoporosis, dan beberapa jenis kanker.
“Dosa” Empat Sehat Lima Sempurna
Di Indonesia, penerapan Empat Sehat Lima Sempurna – yang mengacu pada piramida Basic Four tadi – ternyata juga tidak lepas dari salah kaprah. Beberapa hal yang sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari antara lain sebagai berikut:
1. Susu si malaikat
Susu sering dianggap komponen yang wajib ada dalam daftar makanan sehari-hari. Banyak yang beranggapan bahwa rasanya belum afdol, jika belum mengonsumsi susu, meskipun komponen lain yang terdapat dalam Empat Sehat sudah terpenuhi.
Masyarakat mengangga susu sebagai penyelamat lantaran dianggap sebagai makanan “penyempurna” yang bergizi komplit sehingga bisa menggantikan peran sumber makanan lainnya. Jadi jika anak-anak sedang sulit makan, selama masih mau minum susu saya sudah dianggap cukup, karena susu sudah mengandung karbohidrat, protein, vitamin, mineral, dan zat gizi lain.
Prof Soekirman mengakui, slogan “Lima Sempurna” yang mengacu pada susu memang membuat banyak orang menganggap bahwa komponen makanan yang terdapat dalam Empat Sehat belum komplit jika tanpa susu. Selain itu, karena disandingkan dengan kata “sempurna” susu juga sering dijadikan jawaban atas masalah kekurangan gizi. Padahal kenyataannya, susu merupakan bahan makanan yang posisinya tidak lebih hebat dari sumber protein lain, seperti kacang-kacangan, biji-bijian, polong-polongan, ikan, ayam, atau daging.
2. Melupakan proporsi makanan
Empat Sehat Lima Sempurna menyamaratakan kebutuhan gizi. Seolah-olah, asal terdiri dari makanan sumber karbohidrat, lauk pauk, sayur, dan buah, itu sudah cukup. Padahal, setiap orang memiliki kondisi tubuh dan kebutuhan gizi berbeda-beda, yang sangat dipengaruhi oleh usia, status kesehatan, dan aktivitasnya.
Kebutuhan gizi seorang pekerja fisik, misalnya, tidak sama dengan karyawan yang seharian bekerja di belakang meja. Bila pola makan mereka dipukul rata berdasarkan susunan makanan yang terdiri dari empat kelompok tadi, dan tidak mempertimbangkan porsi serta jenis zat gizinya, pola makannya itu tidak bisa dibilang sehat.
Sebab, pada pekerja fisik, kalori yang terkandung dalam makanannya mungkin akan langsung habis tak bersisa saat digunakan untuk bekerja. Sementara pada si karyawan, sisa kalori yang ada akan tertimbun di dalam tubuhnya.
3. Tidak peduli kombinasi
Banyak orang memahami komponen Empat Sehat Lima Sempurna harus dikonsumsi sekaligus. Mulai sarapan hingga makan malam, berusaha mengusahakan isi piringnya terdiri dari nasi, lauk pauk, dan sayur dan tambahkan susu. Biar sumber tenaganya komplit!
Namun yang aneh, alih-alih merasa lebih bertenaga, setiap kali usai makan ia malah mengantuk. Padahal menurut Ahli nutrisi Andang Gunawan, ND, bahwa kita harus mengonsumsi sumber makanan secara komplit seperti yang terdapat dalam komponen Empat Sehat, itu memang betul. “Namun tidak perlu sekaligus,” tegasnya.
Alasannya, agar bisa dicerna dengan baik, konsumsi makanan sebaiknya juga disesuaikan dengan enzim yang berada pada sistem pencernaan. Ada enzim yang membutuhkan lingkungan cerna bersifat asam, ada pula yang membutuhkan lingkungan cerna bersifat basa.
Apabila makanan yang kita konsumsi sama-sama bersifat asam (misalnya karbohidrat tepung dimakan bersamaan dengan protein hewani), akan terjadi proses penetralan asam-basa yang menghambat proses pencernaan. Tubuh juga akan mengerahkan energinya untuk mencerna makanan. “Inilah yang menjelaskan mengapa seusai makan tubuh justru terasa berat, bahkan mengantuk,” Andang menjelaskan.
Selain itu, bahan makanan yang terlalu lama tinggal dalam organ pencernaan akan membusuk dan meninggalkan toksin. Thomas E. Levy, MD, dalam bukunya yang berjudul Optimal Nutrition for Optimal Health, mengungkapkan, pencernaan yang bersifat toksik cenderung mendorong peningkatan berat badan.
Ini disebabkan, usus halus menyerap lebih banyak dari yang seharusnya (leaky gut). Jika di saat yang sama, sisa-sisa makanan yang ada belum tercerna dengan sempurna, sementara pola makan yang tidak ramah pencernaan tadi terus terjadi, tubuh akan mengenali zat yang diserap usus halus tersebut sebagai benda asing. Ia akan berusaha melawan dengan mengaktifkan sistem kekebalan. Namun hal ini bukannya membuat daya tahan tubuh kita semakin kuat, melainkan sebaliknya; sel-sel meradang, dan kita lebih rentan sakit. (bersambung).