Salah satu efek potensial yang merugikan dari pola makanan kaya-serat adalah, kecenderungan serat mengikat beberapa mineral seperti magnesium, kalsium dan terutama mineral trace, seperti zat besi serta seng. “Kelebihan serat juga bisa menghambat penyerapan vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh,” ujar dr. Fiastuti. Beberapa riset memperlihatkan, asupan serat yang tinggi, dapat menimbulkan defisiensi (kekurangan) mineral pada orang yang pola makannya buruk secara gizi.
Sumber serat larut dan tak larut
Serat dalam makanan, disebut juga serat makanan, umumnya berasal dari buah, sayuran, biji-bijian dan serealia. Kandungan serat dalam bahan pangan, tergantung jenis bahan pangan tersebut. Serat dalam makanan digolongkan menjadi dua.
Pertama serat tidak larut, seperti sellulosa dan hemisellulosa yang terdapat di hampir semua jenis bahan pangan nabati, khususnya buah dan sayuran. Kedua, serat yang dapat larut. Yakni pektin yang banyak terdapat dalam buah-buahan.
Ada lagi beta-glukan, terdapat pada oat dan barley, seaweed seperti alginat, karagenan dan agar-agar yakni serat dari tumbuhan laut. Juga serat bakteri seperti nata de coco dan lignin yang terdapat pada buah dan sayur. “Bukan berarti pada buah-buahan hanya ada serat larut. Tapi memang, serat larut lebih banyak dibanding serat tidak larut,” ujar dr. Fiastuti.
Serat yang tidak dapat larut
Serat yang tidak dapat larut, seperti sellulosa dan hemisellulosa, baik untuk kesehatan usus, memperlancar keluarnya feses, mencegah wasir. Juga baik untuk mengontrol berat badan. Sedangkan serat larut seperti pektin, gum dan agar-agar baik untuk menurunkan kadar kolesterol dan gula darah, sehingga tepat untuk kesehatan jantung dan mengurangi risiko diabetes. (bersambung).