Anda makan nasi setiap hari. Tapi sudah sesuaikah beras pilihan Anda itu dengan kebutuhan tubuh Anda? Dan, sudah yakinkah Anda bahwa nasi yang Anda makan itu punya manfaat kesehatan bagi tubuh Anda?
Sehatalami.co ~ Jangan samakan beras zaman sekarang dengan beras zaman ortu kita. Dulu kita hanya mengenal beras rojolele, beras pandanwangi, dan beras Saigon. Kini melalui penelitian dan percobaan, beras bisa diperbaiki kandungan gizinya sehingga memenuhi berbagai kebutuhan tubuh kita. Selain ketiga jenis yang tetap favorit itu ada beras hitam, beras merah, beras IR, beras Inpari dengan berbagai nomor di belakangnya.
Beras yang menjadi makanan pokok kita ternyata tidak hanya berperan sebagai sumber energi dan zat gizi, tetapi juga mengandung senyawa/komponen bioaktif dengan fungsi fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan. Dalam bahasa ilmiahnya, beras varitas tertentu atau yang telah diproses melalui pengolahan khusus, selain berfungsi sebagai pangan pokok juga dapat diarahkan untuk berperan sebagai pangan fungsional.
Pangan fungsional adalah pangan yang secara alami—atau karena suatu proses—mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan. Beras- beras apa saja yang memiliki manfaat fungsional ?
1.Beras yang Kaya Besi dan Seng
Masalah anemia karena kekurangan zat besi merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Golongan rawan gizi untuk masalah tersebut terdiri atas anak balita, anak sekolah, remaja, ibu usia produktif, ibu hamil, golongan lansia, dan pekerja kasar. Dampak dari masalah tersebut, antara lain adalah menurunnya daya tahan tubuh terhadap penyakit, pertumbuhan fisik yang tidak maksimal, dan terganggunya perkembangan mental pada anak balita hingga remaja.
Masalah defisiensi seng juga melanda bayi, anak balita, anak sekolah, remaja putri, ibu hamil, ibu menyusui, dan golongan lansia. Hal ini dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan pada anak (dwarfism), poor sexual development, deformed bones (kecacatan tulang), penyembuhan luka yang memakan waktu lama, rambut dan kuku abnormal, kurangnya rasa pengecap.
Beras yang kaya akan besi dan seng dikembangkan melalui penelitian biofortifikasi. Penelitian ini merupakan salah satu strategi pemuliaan tanaman untuk meningkatkan kandungan besi dan seng dalam beras, sekaligus memperbaiki gizi masyarakat dengan biaya relatif murah.
2.Beras yang Kaya Betakaroten (Golden Rice)
Dengan menggunakan teknik transfer gen, Prof I. Potrykus telah mengembangkan beras kaya betakaroten yang sering disebut beras emas (golden rice) dari varitas Taipei 309. Penelitian tersebut dilanjutkan oleh para peneliti dari Swiss Federal Institute of Technology, University of Friburg, Germany, dan Dr P. Beyer.
Menurut Potrykus, kebutuhan betakaroten setiap hari dapat dipenuhi dengan mengonsumsi 300 gram nasi beras emas. Saat ini, negara-negara berkembang menggunakan beras emas sebagai donor dalam mengembangkan varitas lokal yang mempunyai betakaroten tinggi dengan menggunakan metode pemuliaan konvensional.
Di Indonesia, hal tersebut sudah diteliti di Balai Besar Penelitian Tanaman Padi di Kebun Percobaan Muara, Bogor, pada tahun 2011. Pengembangan jenis beras emas ini diharapkan dapat mengantisipasi dan mengurangi prevalensi kekurangan vitamin A yang merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia.
3.Beras dengan Indeks Glikemik Rendah (Beras Antidiabetes)
Dalam upaya penyembuhan, penderita diabetes umumnya disarankan mengonsumsi obat yang dikombinasikan dengan diet dan olahraga. Para diabetesi seringkali membatasi konsumsi nasi karena beras dituding sebagai pangan hiperglikemik, padahal beras mempunyai kisaran indeks glikemik yang luas.
Indeks glikemik adalah tingkatan pengaruh bahan pangan tersebut terhadap gula darah. Nilai indeks glikemik bahan pangan dikelompokkan menjadi rendah (<55), sedang (55–70), dan tinggi (>70). Jika penderita diabetes mengonsumsi bahan pangan yang memiliki indeks glikemik tinggi, kadar gula darahnya cepat meningkat, dan sebaliknya.
Beras dengan indeks glikemik rendah, umumnya bila dimasak menghasilkan nasi pera, sehingga kurang disukai oleh diabetesi yang terbiasa mengonsumsi nasi pulen, seperti masyarakat dari etnis Sunda dan Jawa. Namun, tidak demikian dengan diabetesi asal Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan yang sudah terbiasa mengonsumsi nasi pera.Terlepas dari preferensi tekstur dan rasa nasi, penderita diabetes perlu mengacu pada kebutuhan energi yang diperlukan oleh masing-masing individu. (bersambung).