Sehatalami.co ~ Para perajin tempe dan tahu kembeli menjerit disebabkan mahalnya harga kedelai impor. Para perajin tempe dan tahu, pun mengancam mogok produksi, sehingga tempe dan tahu sebagai bahan pangan favorite nasional, mulai langka di pasaran.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum Gabungan Asosiasi Koperasi Tahu-Tempe Indonesia (Gakoptindo), Aip Syarifuddin, menyatakan bahwa sebenarnya kedelai lokal bisa digunakan untuk produksi tempe dan tahu, dan tak kalah kualitas dibanding kedelai impor. Kedelai lokal bahkan lebih alami. Masalahnya hanya satu, tidak mudah dijumpai di pasar.
Bahkan menurutnya kedelai lokal justeru lebih bergizi. “Kalau kelebihan kedelai lokal itu non GMO (Genetically Modified Organisms), lebih natural, kalau orang bilang nggak pakai apa-apa. Kalau kedelai Amerika Serikat, Brasil, dan lainnya itu pasti GMO, makanya hasil panennya besarannya standar dan warna kuningnya bagus,” terangnya seperti dikutip dari detikFinance, Rabu (23/2/2022).
Lebih lanjut, Air Syarifudin menjelaskan, bahwa selain lebih murah, kedelai lokal juga lebih bergizi daripada kedelai impor. Kedelai lokal juga bisa bersaing soal harga dengan produk impor yang berasal dari luar negeri.
“Kedelai lokal itu sesungguhnya gizinya, proteinnya, kalorinya dan lain-lain lebih bagus dari kedelai impor, lebih harum, lebih ini dan lain sebagainya. Sebetulnya kalau bicara harga sekarang kedelai lokal itu juga lebih murah,” jelasnya.
Cocok untuk olahan tahu
masih menurut Aip, kekurangan kedelai lokal ada pada ukurannya yang relatif tidak seragam, sehingga cocoknya untuk bahan baku produksi tahu. “Biji dari kedelai lokal itu tidak standar, itu ada yang besar, kecil, ada yang ini. Jadi karakteristik kedelai lokal ini lebih bagus kalau dibikin menjadi tahu saja,” tuturnya.
Selain itu, kedelai lokal tak selalu tersedia di pasaran. Berbeda dengan kedelai impor yang lebih mudah dijangkau konsumen. Misalnya perajin tahu-tempe yang harus produksi setiap hari.
Kedelai lokal tidak selalu tersedia di pasar
Jika ada masalah pada kedelai lokal, ujar Aip, itu karena ketersediaannya yang kurang memadai. “Kedelai lokal itu tidak selalu ada, padahal kami itu tiap hari atau harus produksi, jadi kalau kami produksi kedelai sekarang tiba-tiba besoknya tidak ada ini jadi bingung akhirnya rusaklah produksi kami tahu dan tempe kami,” ujarnya.
Masalah lainnya, kedelai lokal yang sampai ke tangan perarin banyak yang masih kotor, meski dengan harga lebih murah dan unggul. Ini yang menyebabkan produsen tahu dan tempe harus bekerja ekstra, karena harus membersihkan terlebih dahulu.
“Kedelai lokal itu kotor, di situ di dalam karungnya itu ada tanah, ada ranting, daun, ada lain-lain sebagainya. Kalau kedelai impor, tinggal pakai lah,” jelas Aip.
Produsen tidak punya banyak waktu
Masalahnya adalah produsen tahu dan tempa selalu dtuntut untuk berproduksi secara tepat waktu. Tanpa jeda malah, sementara ketersediaan kedelai lokal tidak bisa selalu ada di pasar.
Faktor inilah yang jadi pertimbangan produsen tahu tempe hingga memilih kedelai impor. Produsen tidak punya banyak waktu setiap hari, karena harus terus mengolah kedelai menjadi tahu dan tempe.
Menurut Anggota Komisi Pemberdayaan Ekonomi Umat, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Ayep Zaki, kebutuhan kedelai Indonesia saat ini mencapai 3 juta ton per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Indonesia harus mengimpor 80% atau setara 2,4 juta ton.
Jika dikonversikan dengan harga per kilogram (kg), kedelai belakangan ini harganya Rp 10.000. Perhitungan tersebut artinya impor kedelai bisa mencapai Rp 24 triliun. (SA)