Perasaan bahagia yang sudah menyatu dengan karakter, bersifat lebih stabil. Seseorang yang memiliki karakter bahagia mempunya kecenderungan untuk merasa sejahtera dan selalu merasa optimis dalam situasi dan kondisi yang berbeda.
Sehatalami.co ~ Begitu banyak definisi mengenai bahagia atau kebahagiaan. Namun menurut psikolog Nella Safitri Cholid, S.Psi., sebagaimana dikutip dari majalah kesehatan Nirmala, bahagia umumnya mengandung pengertian suatu kondisi atau perasaan puas terhadap diri kita sendiri dan hidup kita. Bahagia bisa berupa perasaan sementara (mood). Namun bahagia juga bisa berupa perasaan yang menetap (trait), yang menjadi ciri karakter seseorang, seperti orang yang selalu ceria dan riang dalam segala ‘cuaca’.
Ungkapan bahagia yang ditampilkan seseorang umumnya hanyalah perasaan yang bersifat sementara. Misalnya, seorang karyawan merasa bahagia ketika dirinya mendapat promosi jabatan. Ia merasa puas karena pekerjaannya dihargai, sehingga mendapat kepercayaan lebih sekaligus penghasilan naik. Namun kebahagiaan seperti ini bisa hilang jika ternyata posisi barunya itu membuatnya saat-saat berkumpul bersama keluarga berkurang.
Sebaliknya, perasaan bahagia yang sudah menyatu dengan karakter, bersifat lebih stabil. Seseorang yang memiliki karakter bahagia mempunya kecenderungan untuk merasa sejahtera dan selalu merasa optimis dalam situasi dan kondisi yang berbeda.
Sebagai contoh dalam film La Vita e Belle (Hidup ini Indah) untuk menjelaskan bagaimana reaksi seseorang yang berkarakter bahagia menghadapi kehidupan pahit. Film peraih 3 piala Oscar ini menceritakan tentang kehidupan Guido, pemuda keturunan Yahudi (diperankan oleh Roberto Benigni) yang hidup pada masa Nasi berkuasa di Eropa.
Tanpa harta, kehilangan kebebasan, dan terpisah dari istri yang ia cintai, tidak membuat Guido tertekan. Dengan gaya kocaknya ia membesarkan hati anaknya dalam kamp konsentrasi bahwa mereka justru beruntung karena telah terpilih untuk mengikuti permainan yang berhadiah tank.
Dengan imajinasinya yang liar dan keberaniannya, ia berhasil menularkan sikap optimis pada anaknya, rekannya, bahkan istrinya yang berada di kamp terpisah. Tekanan dan kesedihan tidak berhasil memadamkan rasa bahagia yang sudah menjadi ciri dan karakternya.
Anak perlu latihan untuk mendapatkan kebahagiaan
Sebagai orangtua, pernahkah kita bertanya bagaimana caranya agar anak kita bisa tumbuh bahagia? Di sekolah, anak mendapat tumpukan materi pelajaran yang harus ia kuasai dan masih harus mengatasi sendiri masalah-masalah yang mungkin timbul dalam berhubungan dengan teman-temannya.
Belum lagi masalah transportasi pergi-pulang dari dan ke sekolah. Di rumah pun, anak masih harus belajar mengatasi berbagai masalah yang timbul, mulai dari persaingan antarsaudara kandung hingga ketegangan karena kedua orangtua bermasalah.
Lebih penting untuk diingat bahwa masa kanak-kanak sekarang tidak lagi semudah dulu, terkadang membuat kita merasa bersalah. Kita lantas berusaha membuat anak bahagia dengan melindunginya dari perasaan kecewa.
Misalnya, dengan membelikan mainan apapun yang diminta anak. Atau, seperti trend yang sedang terjadi saat ini, membelikan handphone untuk anak-anak yang masih kecil walaupun mereka tiak membutuhkannya.
Perhatian-perhatian berlebihan dan upaya orangtua mencegah agar anak tidak kecewa memang membuat anak bahagia, tapi sayangnya, hanya sementara waktu. Kenyataannya, masa kanak-kanak tanpa rasa sakit atau frustrasi justru merupakan salah satu resep untuk menjadikan anak kelak sebagai orang dewasa yang tidak bahagia.
Karena sebagaimana daya tahan tubuh kita, perlakuan terlalu melindungi dengan tujuan agar terhindar dari penyakit justru membuat daya tahan tubuh lemah, karena tidak terlatih menghadapi kuman dari luar. Begitu pula dengan proteksi berlebihan terhadap anak, justru bisa membuat anak tidak bisa mandiri dan terbiasa dengan kondisi lingkungan yang serba tidak pasti. (SA)