Karena itulah, berdasarkan penelitian tersebut Seligman menyimpulkan bahwa mereka yang pesimis lebih sulit sukses dalam pekerjaannya. Hubungan pribadinya juga lebih mudah rusak, bahkan lebih sering menderita sakit dalam hidupnya.
Sementara itu, Viktor Emile Frankl, seorang doktor di bidang ilmu kedokteran dan filsafat mengingatkan bahwa optimisme harus dibarengi dengan kemampuan untuk menerima kenyataan.
Kesimpulan ini diperoleh dari pengalamannya di kamp NAZI selama Perang Dunia II. Ia dimasukkan ke kamp NAZI karena berkebangsaan Yahudi. Teman-teman sesama tawanan yang sangat yakin bahwa mereka akan segera bebas, justru lebih cepat meninggal karena tidak kuat menerima kenyataan bahwa mereka masih berada dalam penderitaan dan tak ada tanda-tanda dibebaskan dalam waktu dekat.
Senada dengan hal tersebut, Seligman juga menyatakan bahwa optimisme tidak selalu tepat digunakan dalam berbagai situasi. Ia menunjukkan bahwa sikap pesimis juga perlu dipertahankan, terutama ketika kita berada di lingkungan atau situasi yang berbahaya.
Rasa khawatir terhadap sesuatu yang negatif dan berisiko tinggi bisa membuat seseorang tetap selamat. Meskipun demikian, tetap saja dibutuhkan sikap optimis untuk mengambil tindakan yang tepat.
Sebelum depresi menyerang
Optimisme terutama dibutuhkan dalam menghadapi keadaan sulit seperti sekarang ini. Memang, kehidupan yang kita jalani sekarang ini semakin berat. Harga barang-barang kebutuhan sehari-hari terus saja melambung tinggi, biaya pendidikan untuk anak-anak dan kesehatan keluarga juga semakin mahal.
Kerja keras sepanjang hari, tapi kebutuhan seolah tak pernah tercukupi. Ditambah lagi ancaman terhadap keselamatan jiwa dan raga yang mengintai dari segala arah. Gaya hidup urban yang penuh tekanan ini membuat seseorang rentan terhadap depresi. (bersambung).