Ada banyak contoh yang dapat kita kemukakan di sini. Dalam bukunya, The Happiness Advantage (2010), Shawn Achor, bercerita tentang banyak perusahaan yang kinerjanya menurun dan setelah ditelusuri lebih dalam penyebab utamanya adalah karena karyawannya tidak bahagia di tempat kerja.
Seligman bahkan pernah diminta menangani sebuah perusahaan asuransi di AS yang mengalami kerugian sampai 75 juta dolar AS dalam setahun karena banyak agennya yang berhenti kerja, setelah mengalami penolakan dari calon pelanggannya.
Makna baru kebahagiaan di tempat kerja
Penelitian Seligman ternyata membuktikan bahwa penyebab utama kegagalan sesungguhnya bukanlah pada penolakan itu sendiri, tetapi pada bagaimana para agen memaknai penolakan tersebut.
Disebutkan, bagi agen yang bahagia dan optimistis, penolakan dianggap sebagai tantangan yang bersifat temporer, dan sama sekali tidak terkait dengan keahlian mereka. Sementara bagi agen yang pesimistis, penolakan ditafsirkan sebagai penilaian orang terhadap kemampuan menjual mereka yang buruk.
Perbedaan dalam memaknai penolakan itulah ternyata yang merupakan faktor terpenting yang menentukan keberhasilan mereka. Penemuan penting ini akhirnya dijadikan sebuah standar baru dalam perekrutan agen. Kalau sebelumnya agen direkrut berdasarkan keterampilan mereka dalam menjual, sekarang dasar perekrutan agen adalah sikap mental dan tingkat kebahagiaan mereka.
Kesadaran akan pentingnya happiness sebagai faktor penentu keberhasilan pada perusahaan-perusahaan di Indonesia menurut Arvan Pradiansyah, masih berada pada tahap yang sangat awal.
Masih banyak perusahaan yang melihat happiness dengan sebelah mata. Bahkan, masih ada persepsi bahwa kebahagiaan di tempat kerja membuat orang menjadi tidak produktif. “Mereka yang berpandangan seperti ini mengatakan bahwa tugas para pemimpin perusahaan adalah membuat karyawan mereka “tidak puas” sehingga akan mendorong perilaku untuk mencapai target. Orang yang bahagia dianggap cepat puas dan kurang bersemangat dalam mencapai prestasi. Menurut saya, pemimpin seperti ini telah mengacaukan arti kebahagiaan dan kenyamanan, “ tulis Arvan.
Padahal, orang yang nyaman mungkin tidak akan berprestasi karena mereka telah puas, aman dan sejahtera dalam posisi mereka saat ini. Akan tetapi, orang yang berbahagia justru akan terdorong mengeluarkan energi dan kemampuan terbaiknya untuk mencapai prestasi yang semaksimal mungkin.
Sementara menurut Taufik Amir, PhD, bidang Business Development, dan akademisi dari Universitas Bakrie, “Aplikasi psikologi positif di lingkungan kerja dapat membantu menciptakan iklim kerja yang positif, lebih bersemangat, membuat organisasi dan individu lebih perform, penuh tenaga, dan mampu melejitkan potensi SDM secara keseluruhan, sehigga dengan begitu maka akan lebih berpotensi untuk mendatangkan kebahagiaan bagi manusia itu sendiri, “ tuturnya. (AKH).