Namaku Sri Irianingsih, 63 tahun. Orang memanggilku Rian. Bersama Rosita, Saudara kembarku, kini aku terpanggil untuk mendarmabaktikan sisa hidupku sebagai pengajar untuk anak-anak kurang beruntung di kolong jembatan. Di sekolah yang yang kami beri nama, Sekolah Kartini, itu sedikitnya sekitar 6.000 anak telah kami didik. Sesuatu yang akhirnya berhasil membukakan mataku arti sebuah perjuangan dan bisa membuatku bangga bahwa dengan sebuah tekad kita bisa berbagi sesuatu untuk sesama.
Mungkin tak ada yang mengira jika sebelum berkecimpung dan mengabdikan diri di duniaku saat ini, sebagai sukarelawan untuk anak-anak di kolong jembatan, aku pernah bergelut dengan kanker hati yang ganas atau dikenal dengan serosis.
Saat itu tahun 1990. Suamiku, Laksamana Faisal, yang saat itu sedang bertugas di Akademi Angkatan laut di Surabaya divonis mengidap kanker hati. Menyusul kemudian, aku. Juga dengan vonis yang sama. Mengidap kanker hati. Yang lebih mengenaskan, anak pertamaku, Edwin juga mengidap penyakit yang sama. Jelas, mendapati kenyataan ini, pikiranku jadi kacau. Hatiku terasa hancur. Mendadal semuanya jadi terasa gelap. Campur aduk, hingga rasanya tak lagi mampu berpikir jernih. Dengan tubuh yang tergolek lemas, pikiranku pun menerawang,”Ya Allah, bagaimana mungkin ini bisa terjadi.” Sulit rasanya bisa menerima cobaan seberat ini dengan hati yang lapang. “Bayangkan, dalam satu keluarga, hanya anak perempuanku satu-satunya yang sehat.”
Kehilangan Suami
Rumah Sakit Angatan Laut, Surabaya menjadi saksi titik balik jalan hidupku. Seperti biasanya, aku melihat suamiku tergolek lemas. Telah lebih dari setahun, ia bergelut dengan penyakit yang dideritanya. Dan hari itu, ia harus di bawah ke rumah sakit. Sebab kondisi tubuhnya, terlihat semakin menderita. Sebagai istri, aku selalu setia mendampinginya. Meski, tubuhku sendiri pun sebenarnya juga tidak sehat. Tetapi aku harus merasa kuat. Sampai pada suatu titik, bahwa Tuhan berkata lain: sudah waktunya bagi suamiku untuk berpisah denganku. Tuhan telah memanggilnya.
Saat itu juga, terpikir olehku, satu sisi dalam keluargaku telah lumpuh. Segera terbayang nasib dan masa depan anak-anak. Mereka masih kecil-kecil. Siapa yang akan memberi nafkah anak-anak yang masih butuh perhatian. “Aku harus bangkit pikirku.”
Lama aku tercenung. Entah bagaimana, tiba- tiba seperti ada yang menggerakkan seluruh tubuh. Perlahan aku bangkit, dan kemudian mengambil air wudlu, lalu kuputuskan untuk sholat. Benar-benar berniat berdoa memohon kepada Tuhan, agar dikuatkan menghadapi cobaan yang amat berat. Dengan hati yang khusyuk, aku menumpahkan segala rasahku kepada yang mempunyai dan menguasai segala sesuatunya. Saat larut dalam doa itu, tiba-tiba terasakan di dalam hati serasa ada suatu yang mengalir. Tubuhku menjadi hangat, dan pikiranku serasa tercerahkan: ada yang membisiki dan membimbingku dan mengatakan bahwa apa yang menimpaku haruslah diterima dengan dengan ikhlas. Semua hanya milik Allah. Kita hanya sekadar menjalaninya.
Dalam hening itu, kuteruskan berdoa. Dengan penuh harap, aku benar-benar memohon dan berusaha untuk merasakan sebatas yang mampu dan bisa kurasakan: ikhlas kuserahkan seluruhnya di hadapan Tuhan. “Kalau memang ini awal bagi kematianku, aku ikhlas.” Tak terasa, air mataku mengalir, jatuh. Tiba-tiba, tubuhku terasa hangat . Ada semacam energi yang membangkitkanku, bersamaan dengan perasaan lega. Plong rasanya setelah mampu meresapkan arti dan makna ikhlas dalam doa khusukku kepada Tuhan.
Namun, berbarengan dengan itu, gairah hidupku justru kembali bangkit. Rasaanya ingin segera kembali melakukan banyak aktivitas. Itulah moment yang membuatku seolah kembali tersadar bahwa tak ada gunanya meratap. Aku pun bangkit dan kembali bersemangat, menjaga dan mendidik anak-anak. Mulailah aku kembali bekerja demi menghidupi keluarga, justru di tengah saran dari banyak orang yang memintaku agar sebaiknya beristirahat total.
Tetapi aku tak peduli. Sampai-sampai, dokter pribadiku tak percaya. Ia memintaku untuk istirahat total (bedrest), agar kondisiku bisa pulih. Dokter juga memintaku untuk menjalani kemoterapi. Tetapi aku tetap pada pendirianku, hingga akhirnya dokter menyerah dan memperbolehkanku menjalani perawatan samba jalan.
Bekerja Layaknya Orang Sehat
Tentu saja awalnya terasa berat, sebab penyakit yang kuderita memang jenis yang berat. Namun dengan sikap ikhlas, semua kujalani dengan penuh semangat. Sehari-hari aku bekerja layaknya orang sehat. Setiap pagi masuk kantor dan menyelesaikan pekerjaan dengan baik. Banyak di antara temanku yang heran. Apa yang membuat tubuhku selalu bisa telihat segar dan bugar. Waktu itu sudah sekitar tiga bulan tidak kontrol ke dokter.
Beberapa bulan kemudian, aku kembali menemu dokter lagi. Ia pun melakukan observasi dan pemeriksaan terhadap penyakitku. Namun, sungguh mengejutkan. “Obat apa yang bisa begitu cepat menyembuhkanmu?” tanya dokter yang memeriksaku. Tidak tahu harus berkata apa. Lama aku terdiam. Mencoba mengingat-ingat, apa yang kulakukan untuk menyembuhkanpenyakitku selama ini. Namun tak juga segera keluar jawaban yang bisa kuberikan pada dokter yang sedari tadi masih menunggu jawaban dariku, sampai akhirnya keluar sebuah jawaban yang aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya.”Mungkin justru ikhlaslah yang membuat penyakitku justru bisa sembuh dengan cepat, ya dok…”
Sayuran Penunjang Aktivitas
Dan kini, alhamdulillah, penyakit yang kuderita telah sembuh. Aku bahkan bisa beraktivitas sehari-hari dengan rasa nyaman. Dari pagi hingga sore, seolah tak merasa lelah mengurus dan membantu penyelenggaraan pendidikan anak-anak hingga remaja di Sekolah Kartini.
Di pagi hari, aku dan saudara kembarku juga mesti menyiapkan menu untuk makan sehari-hari. Jadilah belanja aneka bahan sayuran di pagi hari menjadi kegiatan yang mengasikkanku. Disusul kemudian, aktivitas mengajar hingga sore hari. Hari-hariku menjadi kian sibuk, jika aku mesti menghadiri sesi seminar atau ceramah. Rutinitas sehari-hari ini tentu saja cukup menguras waktu dan tenaga. Tetapi, bisa kulalui dengan hati riang dan gembira. Tak juga ada rasa capek dan lelah. Sebaliknya, justru membuat tubuhku semakin sehat dan bugar.
Mungkin karena kebiasaan pola makan yang kujalani kini semakin baik. Sehat dan seimbang, bahkan lebih dominan kombinasi buah dan sayuran. Sebuah kebiasaan baru yang mulai terbentuk seiring penyakit kanker hati yang dulu pernah kuderita.
Alhamdulillah, saat ini, pola makan yang lebih sehat tersebut telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan untuk membuat hidup jadi lebih sehat dan bermakna. Mungkin, pola makan sehat alami ini pulalah yang mampu membuatku makin terlihat sehat dan bugar. Sebab, dari sumber makanan yang sehat alami itulah energi hidup bisa kita dapatkan. (SA)