Menurut Martin Seligman, cara seseorang memberi respons terhadap suatu peristiwa yang menimpa dirinya, entah secara pesimis atau optimis, adalah hasil pembelajaran. Artinya, sikap optimis bisa dibiasakan lewat proses pembelajaran, bisa pula dihentikan, atau diubah.
Sehatalami.co ~ Pola asuh di masa kanak-kanak ikut memberikan pengaruh terhadap pembentukan sikap optimis. Dalam diri mereka yang sejak kecil dibiasakan berpikir rasional, bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu, dan tidak mengikuti budaya serba instan, akan tertanam bahwa sikap optimis lebih baik daripada pesimis.
Sebaliknya, kalau anak biasa dimanjakan, ia tidak akan pernah belajar tentang realitas kehidupan dan apa artinya berusaha. Anak-anak seperti ini memiliki kecenderungan bersikap pesimis.
Meski tidak selalu, tetapi orang yang biasa hidup berkecukupan diramalkan akan lebih cepat kehilangan optimismenya ketika menghadapi masalah. Menurut Sartono Mukadis, psikolog yang juga praktisi Sumber Daya Manusia, selain pola asuh, pengalaman di masa lalu dan lingkungan sosial ikut berpengaruh terhadap pembentukan sikap.
Bisa diubah, kok!
Kalaupun sikap pesimis sudah tertanam, tetap ada peluang untuk mengubahnya, karena sikap pesimis memang bukan nasib, bukan juga faktor genetik yang tak bisa diubah.
Menurut Martin Seligman, PhD, peneliti dari University of Pennsylvania, dan mantan presiden American Psychological Association (APA), cara seseorang memberi respons terhadap suatu peristiwa yang menimpa dirinya, entah secara pesimis atau optimis, adalah hasil pembelajaran. Artinya, sikap optimis bisa dibiasakan lewat proses pembelajaran, bisa pula dihentikan, atau diubah.
Yang diperlukan untuk menjadi orang yang optimis adalah keinginan yang kuat, latihan dan proses belajar yang terus-menerus. Orang seperti ini akan tetap bersemangat saat menemui berbagai tantangan, penuh dengan ide-ide baru yang hebat, dan berani mengambil risiko dengan keyakinan bahwa di balik setiap tantangan pasti ada peluang. (SA)