Metode pembelajaran yang terlalu ”kiri”
Tentu kita tidak ingin masing-masing belahan otak kita bekerja sendiri-sendiri. Seperti yang disampaikan oleh Sidiarto, bahwa kedua belahan otak harus digunakan secara seimbang agar menghasilkan individu yang seimbang.
Di sinilah fungsi penting corpus collosum, yang biasa disebut ”jembatan emas”, yang menghubungkan kedua belahan otak. Struktur inilah yang memungkinkan terjadinya pengolahan informasi secara utuh.
Sayangnya, metode pembelajaran sekarang ini cenderung memberikan bobot lebih pada penggunaan otak kiri. Hal ini terjadi karena banyak orangtua dan juga pendidik yang salah memberikan arti pada kecerdasan.
Seperti yang disampaikan oleh Roslina Verauli dalam acara bertema Anak Cerdas Berkat Stimulasi Cerdas yang diselenggarakan oleh Fonterra Brands Indonesia pada pertengahan Agustus lalu, ”Cerdas cenderung dihubungkan dengan IQ tinggi, dan cepat bisa membaca serta berhitung.”
Tuntutan untuk menjadi ”cerdas” seperti inilah yang kemudian diinterpretasikan dalam metode-metode pembelajaran yang mengutamakan intelegensia, penciptaan teknologi, penghitungan matematis, keuangan, dan sebagainya.
Salah satu kelemahan sistem pembelajaran yang mengutamakan pengembangan otak sebelah kiri adalah kurangnya kreativitas. Seperti yang dikatakan Eden, ”Kebanyakan anak-anak memiliki kreativitas tinggi (yang diatur oleh otak kanan) sebelum mereka masuk sekolah. Hanya 10% dari anak-anak ini yang tingkat kreativitasnya tetap sama pada usia 7 tahun, dan ketika telah dewasa, hanya 2% yang tetap memiliki tingkat kreativitas tinggi.”
Tak hanya hilangnya kreativitas, Sidiarto juga menyoroti meningkatnya kekerasan yang dilakukan anak sebagai salah satu akibat metode pembelajaran yang mengutamakan pengembangan otak kiri. ”Pendidikan seharusnya memperhatikan juga pembentukan watak, yang sarangnya ada di otak kanan,” tegasnya. (SA)