Kurangnya nutrisi pada usia balita menyebabkan gangguan pada beberapa fungsi otak, yang kemudian memunculkan perilaku hiperaktif dan agresif pada masa-masa selanjutnya dalam kehidupan anak-anak tersebut.
Sehatalami.co ~ Media, yang sering menyajikan kekerasan, hampir selalu menjadi “tersangka utama” meningkatnya kekerasan anak, tentu selain kelalaian orangtua dalam mengasuh dan membesarkan anak. Benarkah hanya dua hal itu penyebabnya?
Menurut Octaviani Indrasari Ranakusuma,Psi, BA (Hon), MSi., psikolog dari Universitas YARSI Jakarta, sebagaimana pernah dikutip oleh majalah kesehatan Nirmala, tingkah laku agresif yang ditampilkan anak sedemikian rupa sehingga mengancam keselamatan orang lain dapat menjadi indikasi adanya gangguan psikis pada si anak, yang disebut dengan gangguan tingkah laku (conduct disorder/CD). “Kalau dari penelitian di negara Barat, angka kejadian gangguan tingkah laku ini 3% – 7%, tapi belum ada data untuk angka conduct disorder di Indonesia,” ujar Octa.
Menurut American Academy of Child And Adolescent Psychiatry (AACAP), anak-anak maupun orang dewasa yang menderita conduct disorder (CD) biasanya mengalami kesulitan dalam hal mengikuti aturan, serta kesulitan berperilaku yang dapat diterima oleh masyarakat.
Akibatnya, anak-anak yang menderita gangguan tingkah laku ini seringkali dianggap anak nakal atau jahat – dan bukan anak yang mengalami gangguan psikis – oleh anak-anak lain, bahkan juga oleh orang dewasa di sekitarnya.
Apa penyebabnya?
Octa dengan tegas mengatakan, ketika seorang anak melakukan kekerasan, kita tidak bisa menyalahkan si anak. “Gangguan tingkah laku ini merupakan hasil antara faktor genetika, lingkungan, dan keluarga,” katanya.
Sementara, American Academy of Child And Adolescent Psychiatry menyebutkan beberapa faktor lain yang diduga berkontribusi terhadap perkembangan gangguan tingkah laku dalam diri seorang anak, seperti: kerusakan otak, pengalaman traumatis, kekerasan terhadap anak itu sendiri, kerentanan mental, juga lingkungan sekolah yang gagal menanamkan nilai-nilai aturan dengan tegas.
Berikut ini beberapa faktor yang diduga berpengaruh terhadap munculnya perilaku kekerasan pada seorang anak, menurut para ahli:
1. Gangguan Fungsi Otak
University of Virginia Health System mencatat bahwa berdasarkan pengujian neuropsikologis, pasien-pasien yang mengalami conduct disorder mengalami disfungsi di bagian frontal lobe otaknya. Padahal, bagian otak ini mengontrol berbagai macam fungsi penting, seperti: kemampuan untuk membuat rencana, menghindari hal-hal yang berbahaya, serta kemampuan untuk belajar dari pengalaman-pengalaman negatif di masa lalu, yang membuatnya tidak bisa mengoreksi perilakunya meskipun sudah merasakan sebuah konsekuensi.
2. Paparan nikotin
Paparan nikotin, bahkan ketika sang anak masih berada di rahim ibunya, diduga juga ikut berkontribusi terhadap munculnya gangguan tingkah laku anak. The Penn State Children Hospital menemukan hubungan antara pasien anak lelaki yang mengalami gangguan tingkah laku dengan paparan nikotin selama kehamilan.
Temuan ini dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan di University of Washington, yang menemukan bahwa seorang ibu yang merokok atau berada di dekat seorang perokok pada dua trimester akhir kehamilannya, cenderung melahirkan anak dengan gangguan tingkah laku, dibanding para ibu yang berada di lingkungan yang bebas asap rokok selama kehamilan.
3. Ketidakseimbangan nutrisi
Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 1.600 anak di kepulauan Mauritius menemukan bahwa anak-anak yang kekurangan protein, mineral seng, besi, dan vitamin B pada usia 1 hingga 3 tahun, cenderung memiliki masalah perilaku ketika mereka berusia 8, 11, dan 17 tahun, seperti suka berkelahi dan melanggar aturan-aturan sekolah dan masyarakat. (bersambung).