Pernahkah kita mendapati anak atau cucu kita lari dari tanggung jawab? Atau tiba-tiba menjadi sulit untuk ditemui, hanya untuk sekadar ditanya, apakah tugas yang diberikan telah dikerjakan dengan baik? Mungkin kita mendapati anak kita merasa frustasi dan menangis, hanya karena tidak mau untuk tampil di depan kelas?
Jika kejadian tersebut pernah dialami atau barangkali memang sering terjadi, bisa jadi memang ada yang perlu dicermati lebih dalam lagi, apakah konsep diri yang ditanamkan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama ini sudah sesuai atau justru sebaliknya. Dan lebih jauh lagi, jangan-jangan kita malah tanpa sadar telah terlalu mematok target atau standar yang tidak realistis dan tidak mungkin dicapai oleh anak.
Tujuan realistis VS tidak Realistis
Reamonn Donnchadha, penulis buku berjudul The Confident Child, mengingatkan jika, ini terjadi dan berulang, bukan tidak mungkin, dapat menempatkan si anak pada posisi tidak mampu. Dan ini justru dapat menimbulkan rusaknya harga diri serta lunturnya rasa percaya diri anak untuk menggapai apa yang sejatinya dibutuhkannya. Alasannya, tulis Reamonn, jika orangtua menetapkan tujuan yang tidak realistis, di luar kemampuan sadar si anak, maka si anak memang akan berusaha menyelesaikan tugas atau menggapai tujuan yang sebenarnya sulit baginya, tetapi dengan kesadaran toh jika gagal, ia tidak akan dipersalahkan karena tugas ini memang tidak realistis. Yang dikhawatirkan dari sikap ini adalah anak akan menjadi terbiasa dan lebih sering mengalami kegagalan daripada keberhasilan, alias jadi terbiasa tidak meraih prestasi. Konsep diri yang tertanam adalah, hal biasa jika orang lain lebih baik dibandingkan dirinya.
Sebaliknya jika anak dibiasakan untuk memiliki tujuan yang realistis, yang sesuai dengan kemampuannya, namun tetap dengan melibatkan elemen tantangan, menurut Reamonn ini akan jauh lebih baik, karena dapat mendorong anak untuk menggunakan sebanyak mungkin potensi dalam dirinya sebagai sarana untuk menjangkau tugas atau menggapai tujuan yang ditugaskan kepadanya.
Dalam kaitan ini, penting bagi anak untuk tahu bahwa ia bisa meminta bantuan jika perlu, dan tetap ‘diterima dengan baik’ jika gagal maupun berhasil. Jadi sikap menerima baik’ dari lingkungannya, seharusnya memang tidak tergantung pada kerberhasilan atau kegagalan anak dalam meraih tujuan. Dengan kata lain, sangat penting bagi orangtua untuk menerima anak apa adanya, dan bukan semata seperti yang ia harapkan. Tetapi bukan berarti orangtua tidak lagi memiliki ambisi dan harapan terhadap anaknya, yang diperlukan hanyalah mencoba menyelaraskan antara harapan dengan kemampuan anak.
Di sini yang perlu dikehuhi oleh si anak atau perlu disampaikan oleh orangtua adalah pemahaman bahwa sejatinya setiap anak memiliki keunggulan dan kemampuan yang tidak harus sama dengan orang lain, dalam proses pencarian konsep realistis atas dirinya.
Karenanya, perlu bagi orangtua untuk mengenal tipe kepribadian dan bakat anaknya, sehingga orangtua dapat memberi kesempatan anak untuk berkembang di bidang yang ia mampu atau pilih. Ini memberi kesempatan kepada anak untuk mencapai prestasi tanpa harus mengukurnya dengan prestasi orang lain. “Sebab sejatinya, prestasi tidak harus diartikan sebagai keunggulan atau hasil yang lebih baik dari teman sebaya atau sekelas, melainkan diukur dari ‘ seberapa baik kita melakaukan sesuatu yang kita mampu’ lakukan,” kata Reamonn. (SA)