“Souly haus, Mom,” ujar seorang anak berusia 2, 6 tahun, saat sedang asyik bermain.
“Maksud souly, apa?” Tanya Mamanya.
“Maksud Souly, Mom ambilkan Souly air putih.”
“O, begitu,” ujar Mamanya seraya bergegas mengambilkan air putih dan dengan riang Souly segera menuntaskan rasa dahaganya. Tetapi ada sesuatu yang terlewatkan oleh Souly. Tidak ingin membuang kesempatan untuk menanamkan ajaran budi pekerti tentang arti berterima kasih, dengan lembut Sang Mama berujar.
”Ayo.., Souly lupa, yah. Bilang apa kalau sudah ditolong…?”Tanya Mamanya.
“O,iya. Terima kasih, ya Mom.”
“Sama-sama.”
Adegan di atas adalah peristiwa keseharian yang sering kita jumpai. Yang tidak biasa adalah bagaimana secara sadar seorang ibu menyadari betapa pentingnya menanamkan budi pekerti dari sejak dini serta menyampaikannya dengan bahasa yang lembut. Dan di saat yang sama, seorang bocah berusia 2, 6 tahun telah mampu berdialog menggunakan pola nalar sederhananya untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Dengan lembut, tidak merengek, dan sabar. Tidak hanya itu, ia juga telah memahami satu sikap penting dalam hidup bahwa ‘berterima kasih’ itu ternyata penting.
Pola asuh dan interaksi dengan bahasa lembut seperti inilah yang belakangan ini sudah mulai terkikis. Banyak orangtua yang tidak lagi memandang penting berdialog dengan anak,hanya karena alasan sibuk dan tidak punya waktu. Ada juga sebagian orangtua yang mulai menyerah dan merasa tidak berdaya menghadapi anak yang semakin kritis, sehingga banyak orangtua menjadi panik dan tidak tahu lagi apa yang perlu dilakukan. Sebagian lagi menganggap anak hanya sebagai ‘anak kecil’ yang belum pantas diajak berdialog secara wajar, sehingga pola komunikasi dan bahasa yang keluar dari orangtua sering tidak nyambung dan bahkan justru bisa melukai perasaan anak. (SA)