Karakter bahagia menurut IL. Arinta Salsabila, M.Psi, Expert Parenting Advice dari Soul of Speaking (SOS), adalah state of being atau keberadaan pikiran dan perasaan.
Sungguh pun bahagia umumnya mengandung pengertian suatu kondisi atau perasaan puas terhadap diri kita sendiri dan hidup kita, yang bisa bersifat sementara (mood) atau bisa juga berupa perasaan yang menetap (trait), dan menjadi ciri karakter seseorang, seperti orang yang selalu ceria dan riang dalam segala ‘cuaca’.
Namun, seperti kata, Tom G Stevens, Ph.D, Psikolog dan Profesor Emeritus, dari California State University, sebenarnya kita bahkan bisa memilih untuk selalu bahagia dalam menyikapi hidup atau sebaliknya.
“Kita bisa memilih selalu bersyukur, berterima kasih terhadap apapun keberadaan kita saat ini, sehingga pikiran kita jadi lebih bahagia. Atau kita bisa memilih untuk mengondisikan diri dengan perasaan nyaman, cinta tanpa syarat, gembira dan suka cita agar perasaan kita menjadi lebih bahagia, “ kata IL. Arinta Salsabila.
Dan sebagai orangtua, tentu kita ingin melihat anak kecil – buah hati kita tumbuh dengan mewarisi karakter diri yang riang, gembira, sopan, mandiri dan sikap positif lain. Tetapi, sudahkah kita menyadari apakah sikap, tindakan, dan ucapan kita selaras dan konsisten dengan tujuan yang diharapkan? Tentu kita sendiri yang bisa merasakannya.
Dalam banyak kasus, Arinta mencontohkan, dari observasi terhadap sebagian besar klien di institusi Soul of Speaking, menunjukkan bahwa eskpresi orangtua dalam bentuk nada bicara, gesture, ekspresi wajah, cara atau model berkomunikasi, banyak ditiru oleh anak (yang saat ini sudah menjadi orang dewasa).
Ia mencontohkan, kebiasaan sehari-hari dalam merespon masalah maupun rutinitas harian, seperti kebiasaan orangtua yang peka terhadap kebersihan, ternyata banyak ditiru oleh anak sesuai kemampuannya. Misalnya, dengan segera mengambil tissue atau kain lap saat ia menumpahkan air minum atau makanan.
“Di sinilah orangtua perlu memahami dan berhati-hati dalam membawakan sikap diri, sebab anak bisa saja merupakan cermin dari orangtuanya,” ujar Arinta.
Sebab, menurut Virginia Satir ( 1916-1988), penulis dan psikoterapis, asal Amerika yang terkanal, terutama dalam pendekatannya terhadap terapi keluarga, setiap kata, ekspresi wajah, gerakan, atau sebagian besar tindakan orangtua adalah representasi yang dapat dilihat sebagai pesan dari orangtua atau gambaran tentang siapa sebenarnya orangtua mereka.
“Sehingga sangat disayangkan bahwa ternyata masih ada begitu banyak orangtua yang belum menyadari pesan apa yang sebenarnya ingin mereka sampaikan kepada anak-anaknya,” ujar Arinta mengutip Virginia Satir. (SA)