Lebih jauh I.Luki Arinta menuturkan, bahasa penolakan semacam itu membuat anak, terutama di bawah usia lima tahun, yang tengah mencari jatidiri mempercayai perkataan orangtuanya (kamu nakal, kamu pemalas), sehingga ia bisa bertindak seperti yang dilabelkan oleh oleh orangtuanya.
Bahasa penolakan juga membuat anak menjadi tertutup dan enggan berbagi cerita dengan orangtuanya. Mereka tidak melihat manfaatnya bersifat terbuka terhadap orangtua, karena khawatir mendapat celaan, kritik, khotbah.
Dalam banyak kasus, tak jarang anak-anak sering tiba-tiba uring-uringan lantaran merasa diabaikan dan tidak dihargai oleh orangtuanya. Padahal, pengabaian terhadap peran perasaan dalam pertumbuhan normal anak-anak, di usia pertumbuhan ini, menurut Daniel Colemen, penulis buku Emotional Intelligence, justru sangat berbahaya dan bisa berpengaruh terhadap kepribadian dan sikap keseharian anak.
Lebih jauh, I. Luki Arinta mengatakan, pengabaian orangtua terhadap perasaan anak bisa menjadi jalan atau pemicu bagi anak untuk mencari-cari figur lain di luar rumah. Itulah yang akhirnya, membuat anak justru lebih mudah menyerap pelajaran dari apa yang mereka tonton dan lihat melalui media, seperti televis atau media lain, ketimbang menuruti dan memperhatikan nasihat orangtua. “Tidak lain, lantaran saat ini memang sudah banyak orangtua yang mulai kehilangan sentuhan-sentuhan kasih sayang atau ‘soul’nya dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan anak,” ujarnya.
Padahal, sikap mau mendengarkan anak bicara dan apa yang harus ia katakan merupakan salah satu cara paling mudah untuk mengetahui hal penting bagi anak. Kalau si anak bercerita langsung kepada orangtuanya, terkadang orangtua sulit menunjukkan kesabaran dan rela untuk meluangkan waktu untuk mendengarkannya. Padahal, jika orangtua bersedia memperhatikan semua yang diceritakan oleh anak, maka ia akan mendapat lebih banyak informasi dari si anak. Dan hal ini bisa menjadi kekuatan bagi orangtua untuk saling menyesuaikan diri. (SA)