Hal lainnya, bisakah teknologi pangan, terutama di bidang pengawetan sederhana misalnya, penggunaan teknik pemanasan suhu tinggi digunakan pada beragam jenis jajanan tradisional? Misalnya, sayur untuk gudeg yang dikalengkan.
Dalam sejarahnya, gudeg ternyata adalah makanan yang sudah ada sejak zaman perang. Konon pada masa itu, para Tantara di Yogjakarta memerlukan makanan yang bahannya tersedia banyak. Salah satunya nangka muda yang dijadikan sayur dicampur santan dengan rasa dominan manis. Proses pengolahan makanan ala gudeg ini ternyata bisa membuat bertahan 2-4 hari.
Dengan menggunakan teknologi pemanasan sederhana rentang usia penyimpanan gudeg bahkan bisa diperpanjang berkali lipat. Prinsip utamanya adalah sesedikit mungkin terjadinya kontak dengan udara pada saat pengisian. Suhu yang digunakan adalah 1210C dengan tekanan 2 atm.
Teknologi sterilisasi ini dapat mempertahankan nilai gizi dan cita rasa sayur gudeg yang terbebas dari kebusukan karena terbebas dari bakteri. Melalui teknologi penyimpanan ini, masa simpan gudeg bahkan bisa sampai dengan dua tahun penyimpanan.
Perlunya teknologi standarisasi pangan
Masalah selanjutnya adalah bagaimana masyarakat dan para wisatawan misalnya mendapatkan jaminan keamanan yang terstandar dari setiap makanan yang mereka konsumsi di area wisata yang mereka kunjungi.
Dalam sebuah penelitian disebutkan, konsumen di rumah makan Sunda bahkan sudah mengharapkan adanya jaminan keamanan pangan sebagai suatu layanan yang harus diterima pengunjung. Itu mengapa, banyak kasus keracunan pangan berkolerasi dengan penurunan jumlah kunjungan.
Fenomena ini pernah terjadi di Bali, misalnya pernah terjadi kasus keracunan pangan pada wisatawan asal Korea. Peristiwa tersebut menyebabkan wisatawan mendapat pengalaman buruk di area atau distinasi tujuan wisata.
Padahal, lazimnya setiap kunjungan mestilah memberikan pengalaman menakjubkan apakah terkait dengan layanan transportasi udara, pesawat, jenis kuliner tradisional, layanan saat menginap di hotel, keramahan dan layanan rekreasi di tempat wisata melalui tampilan atraksi yang ditawarkan, dan lain-lain.
Karenanya, jika terjadi insiden buruk seperti keracunan pangan, dampaknya akan berpengaruh pada menurunnya ketertarikan dan kunjungan wisatawan ke daerah terdampak. Contohnya, seperti dalam kasus wisatawan asal Korea yang datang ke Bali tersebut.
Itu mengapa, penerapan Teknologi Pangan terkait dengan standarisasi dan sertifikasi keamanan pangan untuk produk tradisional sangat penting. Tak heran, jika beberapa restoran, F&B di hotel dan catering sudah menerapkan Hazard Analytical Critical Control Points/HACCP, Good Handling Practice, Good Manufacturing Practices, Good Distribution Practice, and Good Cattering Practice.
Selain itu, terkait dengan standarisasi dan perlunya jaminan produk halal, dunia pariwisata juga sudah waktunya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan muslim terhadap makanan dan minuman halal.
Dengan adanya standarisasi keamanan dan kehalalananya, niscaya besaran pengeluaran untuk makanan dan minuman di sektor pariwisata akan bisa meningkat lagi pada tahun 2019.
Secara tidak langsung hal ini akan mendukung perkembangan wisata syariah/friendly tourism/halal tourism yang juga menekankan pengtingnya sertifikasi halal pada makanan tradisional yang disediakan di daerah tujuan wisata.
Lebih jauh dari itu, sertifikasi sistem manajemen seperti (ISO) 9001, 14000, dan 22000 menjadi penting dalam pengelolaan dan proses pengolahan makanan tradisional untuk kepentingan pariwisata, sehingga bisa meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global industri pariwisata.
_____
Penulis: Shanti Pujilestari, Food Technology Program, Sahid University | Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Cabang DKI Jakarta.
Tulisannya keren.. Masyaa Allah
Masyaa Allah…