Mengajak pasien introspeksi. Lebih jauh ia menjelaskan, ketika seseorang sakit. Maka berhenti dan berpikirlah ke belakang. ”Apa yang ‘jalan’ dan ‘nggak jalan’ selama ini? Nah, pada akhirnya keinginan untuk menjadi sembuh adalah keberhasilan introspeksi dan dari sanalah biasanya kita baru menemukan cara untuk lebih maju lagi.
Dalam fase inilah sesungguhnya peran dokter sangat diperlukan untuk membimbing pasien menemukan kesembuhannya dan tidak hanya meninabobokan pasien dengan obat, “ujarnya.
Menurut dr. Tan, kita memasuki era kebablasan mengonsumsi obat. Akhirnya, obat dijadikan demand. Setelah permintaan melambung tinggi, masyarakat digenjot untuk mendapatkan penghasilan lebih yang sebagian besar akhirnya berakhir di atas kertas resep (habis untuk menebus obat-obatan). “Lihatlah berapa banyak orang yang harus berusaha mati-matian demi keperluan berobat salah satu anggota keluarga.”
Dalam suatu kesempatan ia juga pernah berujar, “Akibat perkembangan ilmu kedokteran – terutama setelah ditemukannya alat pacu dan cangkok jantung, tubuh manusia yang tadinya holistic lalu dipecah-pecah. Kalau kepala sakit yang diobati, ya kepala saja. Kita terlepas dari tubuh, emosi, dan kecerdasan spiritual. Tubuh manusia hanya jadi seperangkat mesin. “
Tidak jarang ia mengkritisi teman sesama profesinya. Pada saat yang sama, ia juga tak segan mengkritisi pemahaman keliru tentang pola piker dan paradigma dalam dunia kesehatan.
“Juga Kalau ada yang salah, kita pergi ke bengkel, dan rumah sakitlah bengkel terbesarnya. Betul, badan manusia terlalu kompleks untuk dipegang satu ahli saja.
Manusia boleh dipegang beberapa ahli, asal mereka sama-sama sadar bahwa manusia diciptakan Tuhan. Masalahnya, dokter punya arogansi profesi. Seorang dokter biasanya susah dibilangin dan selalu merasa benar,” tuturnya lugas.