Keinginan menjadi bagian generasi inovatif dalam bidang kreatif – sebagai perajin sekaligus disainer kain batik mengantarkan saya pada periode pencarian jati diri. Pencarian passion dan tantangan baru lainnya, berjuang melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan ekonomi masyarakat perajin tenun dan songket nusantara.
Sehatalami.co ~ “Aku ingin mencintai Indonesia dengan caraku sendiri.” Kedengarannya sedikit arogan. Meski sebetulnya tidak. Sebab sejatinya setiap orang memiliki jalan ceritanya sendiri. Memiliki fitrah kecenderungan sendiri ; fitrah untuk menemukan jalan dan medium pengabdian atau jalan menuju suksesnya sendiri. Peran orangtua dan lingkungan tak terelakkan. Pendidikan adalah bagian dari aspek lain yang bisa mempengaruhi jalan hidup seseorang.
Dibesarkan dalam lingkup keluarga yang disiplin dan konsisten dalam mengarahkan anaknya. Pada akhirnya saya menemukan sarana mengembangkan potensi diri, yang mungkin terbawa dari gen – warisan orangtua. Masuklah saya di salah satu universitas di negeri ini. Lulus S1 di Fakultas Hukum UGM, Jogyakarta.
Saya pikir ini adalah jalan yang telah Tuhan arahkan untuk saya – berkarir sebagai pengacara. Ada gairah untuk bekerja di sana; disemangati oleh niatan ikut serta berkontribusi mengurai benang kusut penegakkan hukum yang berkeadilan dan bermartabat untuk negeri tempat saya lahir dan besar.
Saya juga mengambil program megister kenotariatan dan kemudian membuka firma kenotariatan di Jakarta setelahnya. Hingga jadilah saya memiliki profesi Notaris. Awalnya saya berpikir, inilah jalan yang juga tepat dan dipilihkan untuk saya jalani dengan suka cita. Kedua profesi berbeda yang bisa dijalankan secara simultan. Ini adalah salah satu sisi passion dalam hidup saya. Sukses penuh berkah.
Namun sebagai perempuan yang lahir dan besar dalam tradisi kuat adat Jawa, saya juga memiliki sejarah dan ingatan sendiri pada nilai-nilai, filosofi, dan tradisi yang dipegang oleh masyarakat Jawa. Karakter diri yang sopan dan santun dalam tindak dan berbusana, tertanam sejak masih belia. Akhlak dan budi mulia ; saling menyayangi dan menghargai yang muda, menghormati orangtua, juga menjadi bagian nilai-nilai yang hidup dalam keseharian masyarakat Jawa.
Adat-istiadat ; tolong-menolong dan hidup guyup rukun saling gotong-royong, serta upacara-upacara adat dan keagamaannya yang ritmik dan khusuk, semakin memperkaya pengalaman bathin saya. Semua adalah nilai-nilai yang hadir dan disemangati oleh substansi nilai-nilai ajaran agama yang substantif, mencerahkan, memberdayakan, tanpa terjebak pada simbol-simbol yang rumit, terlalu dogmatik, yang justru mempersempit gerak langkah. Tentu tanpa harus kehilangan gairah dan semangat dalam menempuh laku spiritualitas sebagai orang yang beragama.
Nilai-nilai dan filosofi yang hidup dalam masyarakat Jawa itu, antara lain terekam dalam pepatah dan petuah, “Ajining dhiri gumantung ono ing lathi. Ajining raga gumantung ono ing busono. Ajining kesehatan ono ing pikiran. Ajining mulyo ono ing makaryo. Ajining kedhudhukan ono ing kabijaksanan.”
Falsafah yang hidup dan menjadi pegangan dalam bermasyarakat di kalangan masyarakat Jawa itu kurang lebih mengandung makna bahwa “Harga diri seseorang dapat dilihat dari cara berbicara. Harga diri seseorang bisa dilihat dari cara dia berbusana. Kesehatan seseorang tergantung dari kondisi pikirannya. Kekayaan tergantung dari usaha dan kerja. Jabatan tergantung dari dari kebijaksanaan.”
Dalam kontek sosial dan budaya, nilai-nilai tersebut dipelihara dan dijaga dengan beragam cara. Adat istiadat dijaga dalam praktik upacara adat dan peribadatan yang hidup di tengah masyarakat. Tak terkecuali tata cara dan adat kebiasanaan masyarakat dalam berbusana.
Kain batik, tenun, dan songket pada aplikasi gaun kebaya dengan desain motif dan corak yang cantik misalnya, ia adalah simbol kesopanan dan keanggunan busana bagi masyarakat Indonesia. Bagi perempuan di tanah Jawa beragam motif batik yang tercipta merepresentasikan sistem nilai yang terekam serta hidup dalam setiap helai kainnya.
Dalam tradisi tenun dan songket pun sama. Setiap helainya, niscaya juga merepresentasikan nilai-nilai filosofi, adat istiadat, dan sejarah panjang perjalanan nenek moyang mereka sebagai sebuah entitas dengan karakter yang melekat dalam tradisi berbusananya.
Rekam jejak panjang perjalanan kain batik, begitu pun tenun, dan songket dapat memperlihatkan kepada kita kekuatan daya adapatif, kreativitas budaya, sekaligus seni indah yang tercipta di balik kerja-kerja terampil dengan keahlian mumpuni dalam mencipta.
Sejatinya inilah potensi kekuatan milik bangsa yang bisa dan harus terus diasah demi memberdayakan hidup rakyat dan komunitas pecipta maupun pencintanya. Kiranya tetap lestari dan terjaga. Sebab rapuh dan hilangnya tradisi pada kain batik, tenun, dan songket, sejatinya juga bisa menjadi pertanda hilang dan lunturnya nilai-nilai dan filosofi yang menjadi bagian dari dasar dan pondasi bangunan kita sebagai sebuah bangsa.
Saya yang di awal 1980-an pernah begitu bergairah – terpanggil untuk membesarkan dan mengembangkan kreativitas di dunia batik, juga kemudian berjuang untuk mewujudkan mimpi yang sama dalam dunia tenun dan songket.
Mimpi agar kain batik tak kalah dan tergusur oleh budaya dan tradisi busana yang diimpor dari luar negeri, juga pada akhirnya menularkan semangat saya untuk berjuang mengangkat pamor kain tenun dan songket Nusantara.
Saya pun, yang saat itu masih gadis muda awal dua puluhan, di tahun 1980-an, bergerilya keliling daerah komunitas perajin seperti ; Palembang, Padang, Pontianak, Samarinda, Tapanuli, Bali, Lombok, dan daerah lain tempat sentra perajin tenun dan songket Nusantara berada.
Perjalanan bukan tanpa risiko yang saya lakukan atau bisa disebut “petualangan gila” ini saya lakukan untuk mencari cara dan menemukan ide, mengasah gagasan dan keberanian untuk mengubah pakem tradisi membatik yang sudah tergerus usia demi mengangkat kembali pamornya. Perjalanan ini, ternyata justru berbelok arah, bukan lagi semata untuk dan demi kain batik, tetapi untuk dan demi cinta saya pada kain tenun dan songket nusantara.
Senang dan bersyukur, mengetahui jika langkah jejak jalan yang saya tempuh terbukti berguna. Para perajin batik di zaman itu (1980-an), kembali bergairah dengan kreativitas dan motivasi yang baru. Kembali dicintai oleh masyarakat dan generasi mudanya.
Gagasan ini yang kurang lebih sama, saya tularkan kepada komunitas perajin tenun dan songket di tanah air. Perjalanan napak tilas menelusiri jejak peninggalan warisan budaya dan tradisi kain tenun dan songket pun saya lakukan.
Daerah-daerah luar Jawa yang sebelumnya saya persepsikan memiliki tradisi yang sama dalam hal kerajinan membatik, ternyata berbeda. Bukan membatik, tetapi mereka memiliki tradisi kain tenun dan songket. Sebuah eksotisme baru, yang mampu membuat saya jatuh cinta dan seolah segera berkata “ Inilah dunia saya”. Saya baru saja menemuan gairah dan semangat baru. Tantangan dan petualangan yang tak kalah seru dengan masalah yang juga dihadapi pada tradisi membatik di tanah Jawa.
Keinginan untuk menjadi bagian generasi inovatif dalam bidang kreatif – sebagai perajin sekaligus disainer kain batik mengantarkan saya pada periode pencarian jati diri. Pencarian passion dan tantangan baru lainnya. Pada akhirnya, passion itu telah saya temukan. Bagaimana berjuang melestarikan, mengembangkan, dan memberdayakan ekonomi masyarakat perajin tenun dan songket nusantara.
Bagaimana pun saya pernah secara intens berada dalam lingkungan kreatif para perajin batik saat masih tinggal di Jogyakarta. Hal yang sama juga saya transformasikan pada komunitas perajin tenun dan songket Nusantara.
Apa yang para perajin pikirkan, apa yang para pemilik bengkel rasakan, juga ikut saya rasakan. Denyut perekonomian dan perputaran roda ekonomi para perajin juga ikut saya rasakan. Bahkan denyut emosi, pikiran, dan perasaan generasi muda pada saat itu terhadap kain batik, tenun, dan songket. Kain dan busana tradisi yang dahulu bagian dari kebanggaan, itu ternyata kalah bersaing dengan budaya fashion pop impor yang selalu menawarkan kebaruan – up to date.
Secara tidak langsung itulah gambaran tentang bagaimana anak-anak muda melihat hasil budaya dan tradisi yang berkembang saat itu di tahun 1980-an. Gambaran ini juga sekaligus sebagai outokritik bagi daya juang dan daya kreatif para pekerja seni batik, tenun, dan songket saat itu.
Sebagai generasi muda, yang sedang menempa diri, kegelisahan yang saya rasakan kemudian dapat saya salurkan secara positif dengan mengajak para perajin, pemilik bengkel mengubah paradigma berpikir bahwa satu-satunya cara mempertahankan warisan tradisi adalah dengan menjaga kain tenun dan songket tetap menarik dan menggoda bagi kalangan muda dalam banyak aspeknya.
Lalu segera bekerja melakukan inovasi dalam segala aspeknya. Dalam aspek seni misalnya, harus berani melakukan perubahan dalam pewarnaan, motif desain dan corak yang lebih menarik. Pada aspek ekonomi harus berani mengembangkan jejaring pemasaran yang lebih luas, dan kerja sama dalam aspek permodalan. Secara fungsional juga harus memeprhatikan kemudahan bagi desainer untuk mengaplikasikan balam beragam busana sesuai kebutuhan konsumen dan lain-lain.
Dengan konsep pikir dan tindakan ini, yang dahulu saya transformasikan dalam lingkup kecil perajin batik di tanah Jawa, ternyata juga mampu menjadi katalisator pembangkit semangat bagi para perajin tenun dan songket Nusantara untuk bangkit memberdayakan diri dan sekaligus memberi solusi nyata dalam upaya pelestarian budaya dan tradisi tenun dan songket nusantara. (Bersambung).