Kehidupan masa kecil, ternyata begitu membekas dalam diri Helianti. Apa yang dialami saat masa kanak-kanak, seolah menjadi cikal-bakal bagi kecintaan dan ketertarikannya pada profesi yang ditekuninya kini, sebagai pelopor industri kreative berbasis bahan pangan dan tradisi kuliner nusantara.
Sehatalami.co. Helianti Hilman ( 47 tahun) adalah satu dari sedikit individu yang peduli pada keaneka ragaman pangan lokal dan tradisi serta kearifan lokal yang menyertainya. Meski begitu, “Jujur awalnya saya tidak pernah membayangkan akan menekuni bidang ini, “ ujarnya.
Kini, Helianti dikenal dengan keahliannya di bidang pengembangan produk makanan berkualitas premium yang berbasis kreativitas. Di tangannya, produk dan bahan pangan lokal, diidentifikasi dan dianalisis sesuai kebutuhan pasar, dikembangkan menjadi produk berdaya saing tinggi, setelah melalui rangkaian desain produksi, uji coba produk, rancang desain kemasan dan pelabelan serta analisa strategi penetapan harga.
Dengan keahlian ini, bekerja sama dengan jaringan petani organik nusantara, ia berupaya ikut mendorong pertumbuhan industri kreatif produk pangan olahan khas nusantara, agar mampu menembus pasar ekspor. “ Kita tidak ingin kekayaan pangan dan kuliner khas nusantara kita hilang dan kalah dengan produk impor,” tuturnya.
Sebab, sudah bukan rahasia lagi jika saat ini, kebanggaan bercocok tanam dan menjadi petani sudah mulai hilang. Bersamaan dengan itu, kecintaan terhadap tradisi kuliner khas nusantara, lengkap dengan sistem nilai dan kearifan lokal yang menyertainya, juga sedang terancam punah.
Tergerus oleh serbuan bahan pangan impor dan tradisi instan yang semakin deras masuk ke segala lini kehidupan, bahkan hingga ke pelosok negeri.
Menggeluti bidang pangan dan kuliner nusantara
Diakuinya, ketertarikannya pada bidang ini, justeru bermula dari interaksinya dengan dunia luar. Awalnya, alumni jurusan Hukum Universitas Padjajaran (1993) ini adalah seorang praktisi hukum, yang bergerak dalam bidang komersialisasi karya cipta di bidang musik dan seni.
“Sebagai profesional, saat itu saya sudah mapan,” katanya. Tetapi, di mata ayahnya, profesi yang ia geluti ternyata dianggap kurang berdampak terhadap masyarakat luas, terutama bagi masyarakat kalangan bawah. “Tidak dengar musik orang tidak akan mati, tetapi kalau tidak makan orang bisa mati,” seloroh ayahnya ketika itu.