- Pemeriksaan gen juga bisa mendeteksi adanya perubahan gen sejak dini, sehingga bisa ditentukan tindakan tepat yang perlu dilakukan sebelum penyakitnya muncul.
- Jika wanita ini menikah dengan seorang pria yang gennya berbeda, keturunannya akan mempunyai gen yang mungkin lebih kebal terhadap jenis penyakit itu.
- Sebaliknya, pada satu suku yang melakukan perkawinan dalam sesama suku karena ada larangan untuk menikah dengan orang di luar suku, biasanya keturunannya akan memiliki gen yang lebih rentan terhadap penyakit tertentu.
Sehatalami.co ~ Mengapa warna kulit orang Indonesia sebagian besar kecokelatan, berbeda dengan warna kulit orang Barat dari ras Kaukasoid? Kalau Anda belum tahu alasan ilmiahnya, inilah jawabannya: itu terjadi karena secara genetik kita berbeda dengan mereka.
Setiap manusia tersusun dari sel-sel. Di dalam inti sel itu terdapat lebih dari 3.000 gen. “Kita ini sebenarnya identik 99,9% pada tingkat DNA, tapi sisa 0,1%-nya itulah yang memberikan variasi genetik antar individu,” kata Ferry Sandra, DDS, PhD, LFIBA, CIPM, Direktur Stem Cell and Cancer Institute (SCI).
Perkawinan dan lingkungan ubah gen
Ada banyak hal yang bisa menyebabkan semakin bervariasinya gen di tubuh manusia. “Penyebab utamanya tentu saja adalah perkawinan yang menyatukan gen pria dan gen wanita yang menghasilkan variasi genetik yang baru,” kata Ahmad R. Utomo, PhD, Kepala Laboratorium Kalbe Genomics.
Ada kalanya gen bermutasi. Ini jelas terjadi karena adanya interaksi manusia dengan lingkungan. Pencetus lain adalah polusi, misalnya; atau paparan zat-zat yang asing bagi tubuh. Tentu saja, ada faktor lain yang juga tak kalah besar pengaruhnya, yaitu gaya hidup yang tak sehat. “Asupan makanan yang tidak sehat, rokok, juga alkohol, semua bisa berujung pada perubahan genetik,” ujar Ahmad.
Meski begitu, perubahan genetik tak selalu berarti negatif. “Kesempurnaan manusia justru ditentukan oleh variasi genetik yang ia miliki,” kata Ahmad. Ia mencontohkan seorang wanita yang memiliki gen dengan kerentanan tinggi terhadap penyakit tertentu.
Jika wanita ini menikah dengan seorang pria yang gennya berbeda, keturunannya akan mempunyai gen yang mungkin lebih kebal terhadap jenis penyakit itu. Sebaliknya, pada satu suku yang melakukan perkawinan dalam sesama suku karena ada larangan untuk menikah dengan orang di luar suku, biasanya keturunannya akan memiliki gen yang lebih rentan terhadap penyakit tertentu.
Meski begitu, tetap saja ada yang harus diwaspadai. “Karena jika kombinasinya tepat, bisa saja mutasi gen yang terjadi justru memicu munculnya keganasan,” Ahmad mengingatkan.
Kenali risiko sejak awal
Di sinilah pentingnya kita mengenali gen yang ada dalam tubuh kita. Dan ini dimungkinkan berkat kemajuan teknologi. Salah satu kegunaan pemeriksaan genetik adalah untuk memprediksi risiko sebelum penyakit tertentu muncul sehingga bisa dilakukan tindakan pencegahan dengan menghindari pencetusnya.
Caranya adalah dengan mengenali gen-gen tertentu yang menandai kerentanan tubuh terhadap penyakit tertentu. “Seseorang yang mewarisi gen yang bermasalah, misalnya BRCA (penanda kerentanan terhadap kanker payudara), atau MLH1/MSH2 (penanda kerentanan terhadap kanker kolorektal dan endometrium), dan CHEK2 (kerentanan terhadap kanker payudara maupun kanker kolorektal), maka risiko untuk mendapat kanker bisa naik sekitar 40-80% ketika dia mencapai umur 70 tahun,” Ahmad menjelaskan.
Pemeriksaan gen juga bisa mendeteksi adanya perubahan gen sejak dini, sehingga bisa ditentukan tindakan tepat yang perlu dilakukan sebelum penyakitnya muncul.
Namun, Ahmad mengingatkan bahwa bagaimanapun, hasil pemeriksaan genetik hendaknya tidak dianggap sebagai “vonis”. “Kita hanya memperkirakan angka kemungkinannya saja. Sama seperti kalau Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) mengatakan ada kemungkinan 70% hujan hari ini, kitalah yang menentukan mau bawa payung atau tidak,” ujar Ahmad.
Lagipula, tak semua penyakit bisa diprediksi melalui pemeriksaan gen. . “Pemeriksaan genetik hanya efektif untuk memeriksa risiko penyakit yang berhubungan dengan perubahan struktur gen, dan bukan karena ada gangguan pada fungsi organ,tubuh.” kata Ahmad. Ia mencontohkan, “Kalau sakit kepala karena kurang tidur, banyak pekerjaan, atau stres tentu tidak perlu diperiksa genetikanya; tapi kalau sakit kepalanya terjadi terus-menerus dalam periode yang panjang, maka bisa dicurigai telah terjadi perubahan struktur gen di dalam tubuh.”
Meski berpotensi digunakan untuk mendeteksi dan menganalisis penyakit-penyakit seperti diabetes, Alzheimer, dan kanker, menurut Ahmad porsi terbesar pemeriksaan genetik selama ini adalah untuk penanganan kanker.
Pengobatan personal
Selain mendeteksi kerentanan terhadap penyakit, gen ternyata juga mempengaruhi respons orang terhadap obat. “Itulah mengapa ada obat yang manjur untuk satu orang tapi tidak manjur untuk orang lain, atau ada orang yang mengalami efek samping sementara yang lain tidak, atau butuh dosis lebih banyak dibandingkan orang lain,” Ferry menjelaskan dalam sebuah acara edukasi kesehatan.
“Selama ini orang sakit diperiksa oleh dokter, didiagnosa secara umum, lalu diberi obat yang sama dengan orang lain jika penyakitnya sama, termasuk untuk kanker. Padahal penyebab penyakit dan susunan genetika pasien kan berbeda,” ujarnya.
Ferry lebih lanjut menjelaskan bahwa kanker memiliki kemampuan bermetastase (menyebar dari satu tempat ke tempat lain dalam tubuh, mengikuti aliran darah). Artinya, kanker yang berada di otak belum tentu sel aslinya berasal dari otak, karena mungkin saja sel kanker yang berasal dari payudara yang sudah menyebar sampai ke otak.
Pemeriksaan genetik bisa menunjuk secara lebih tepat sel apa sebenarnya yang menjadi penyebab kanker tersebut sehingga bisa diketahui jenis obat yang tepat untuk jenis kanker tersebut. Karena itu, bagi mereka yang telah diketahui mengidap kanker, Ferry menyarankan untuk memeriksakan gen mereka sebelum dilakukan pengobatan.
Ferry pun mengutip laporan penelitian dari Business Insights Ltd, sebuah lembaga independen di Inggris yang menyediakan data atau hasil penelitian untuk lembaga-lembaga asuransi, tentang respons manusia terhadap obat saat ini. “Untuk obat analgesik (peredam rasa sakit) memang angka kecocokannya cukup tinggi, 80% pasien berespon terhadap obat itu; tapi untuk asma hanya 60%, migren 50%, sedang untuk kanker hanya 25%,” kata Ferry.
Karena itulah menurut Ferry, sekarang ini terapi personal mulai dikembangkan. “Selain meningkatkan kecocokan obat pada pasien dan mengurangi risiko efek samping, pengobatan yang lebih personal yang disesuaikan dengan kondisi dan karakter gen pasien, tentu akan lebih menghemat waktu dan biaya, karena tidak perlu coba-coba obat di awal terapi sebelum bisa menemukan obat yang cocok.
Prosedur periksa gen
Beberapa laboratorium swasta dan pemerintah di Indonesia saat ini telah mampu melakukan pemeriksaan penyakit ke tingkat gen ini. Pemeriksaannya bisa menggunakan sampel darah atau sampel jaringan tubuh tertentu, tergantung dari jenis penyakit yang hendak diperiksa lebih lanjut.
Meski begitu, Ahmad menyarankan agar orang yang hendak memeriksakan gen berkonsultasi lebih dahulu ke dokter. “Dokterlah yang akan merujuk pasien ke laboratorium dan dokter pula yang berhak menganalisis hasil pemeriksaan gen untuk menentukan penanganan yang tepat terhadap kondisi pasien,” demikian penjelasan Ahmad. (SA)