Memberikan maaf secara tulus dan ikhlas, meskipun terasa berat awalnya, namun terasa lebih membahagiakan, karena si pemaaf menjadi lapang hatinya, dan kesakitan-kesakitan yang dia rasakan pun terhapus karenanya.
Mengapa memaafkan bisa menyehatkan jiwa dan raga? Jika ditelisik dari akar kata Bahasa Inggris ‘forgive’ dari kata ‘ give’ yang berarti memberi, maka ketika seseorang memaafkan, itu juga berarti memberi. Itu artinya ia harus memiliki sesuatu untuk diberikan, yakni sebuah penerimaan, ketulusan, dan kelapangan jiwa. Itu maka, menjadi masuk akal, jika memaafkan mestilah dilakukan setulus jiwa, bukan hanya di mulut atau lahiriah saja.
Dengan memberikan maaf secara tulus dan ikhlas, meskipun terasa berat awalnya, namun terasa lebih membahagiakan, karena si pemaaf menjadi lapang hatinya, dan kesakitan-kesakitan yang dia rasakan pun terhapus karenanya.
Dengan begitu, seperti dijelaskan oleh Health and Life Coach and Conselor Dr Kasim Rasjidi, SpPD (K), DTM&H, MCTM, SpJP, MHA, LMPNLP, ELT, CCH, orang yang telah memaafkan, pada hakikatnya juga telah menyamankan kembali interaksi orang tersebut dengan diri sendiri, dan secara bersamaan juga telah memperbaiki interaksinya dengan orang lain.
Ini pula yang dikemukakan oleh Dr Frederic Luskin, Direktur Stanford Forgiveness Project, Palo Alto, California, dalam bukunya, Forgive for Good. Menurutnya, memaafkan adalah salah satu perilaku yang membuat orang tetap sehat, dan merupakan sikap mulia yang seharusnya diamalkan setiap orang.
Lebih lanjut, Dr Frederic Luskin, dalam bukunya memaparkan, bahwa sifat pemaaf dapat merangsang terciptanya kondisi harmonis dalam pikiran seseorang, seperti memunculkan harapan, kesabaran, dan rasa percaya diri yang tinggi seiring hilangnya sifat pemarah, gelisah, dan stres.
Dorongan Memaafkan
Bagaimana memunculkan sikap memaafkan? Dr Kasim Rasjidi, menuturkan, kendati banyak orang yang menganggap memaafkan itu sulit dan kemampuan memaafkan pada setiap orang juga berbeda ; ada yang mudah memaafkan, tetapi ada juga yang sulit dan bahkan ada yang sampai memelihara kesalahan hingga menjadi dendam yang menahun, namun, yang perlu diketahui bahwa sejatinya kelapangan hati untuk memaafkan adalah kemampuan yang sebenarnya menguntungkan untuk pemberi maaf itu sendiri.
“Dengan selesainya suatu konflik, maka keselarasan interaksi juga tercapai kembali sampai ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu netral atau bahkan sampai damai, yang dalam tatanan energi berada di peringkat atas, melebihi keberanian dan penerimaan. Pada kondisi ini tidak ada lagi rasa dendam, nista, sedih ataupun marah yang mengganjal, karena yang ada adalah kebahagiaan,” ujar Dr Kasim Rasjidi. (SA)