- Dunia hiburan Indonesia kembali berduka. Ashraf Sinclair (40 tahun), suami dari penyanyi Bunga Citra Lestari (BCL) meninggal dunia diduga akibat serangan jantung, Selasa (18/2/2020).
- Tingginya kolesterol dalam darah sebagai penyebab penyakit jantung dan stroke, sudah banyak yang tahu. Namun, tingginya kadar homosistein dalam darah ternyata juga sama bahayanya. Agar tidak menjelma serangan jantung, bagaimana solusinya?
Sehatalami.co ~ Serangan jantung menjadi salah satu satu penyebab kematian dan penyakit yang bisa menyerang siapa saja dan kapan saja. Serangan jantung bisa terjadi karena beberapa sebab. Antara lain, karena ada gangguan aliran pembuluh darah secara tiba-tiba yang disebabkan oleh adanya sumbatan di pembuluh darah koroner akibat pembekuan darah atau plak.
“Komplikasinya itu salah satunya bisa berujung pada henti jantung,” jelas dr Dafsah Juzar, SpJP(K), dokter spesialis jantung sekaligus kepala staff medis emergency dan ICCU RS Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.
Pertolongan pertama pada serangan jantung
Menurut Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) dalam sebuah keterangannya menyebutkan bahwa pertolongan pertama serangan jantung yang paling dianjurkan adalah membawa pasien ke rumah sakit selekas mungkin. Namun kadang tidak selalu mudah mendapatkan akses ke rumah sakit dengan cepat.
Bantuan Hidup Dasar (BHD) yang bisa diberikan sembari menunggu pasien tiba di rumah sakit adalah dengan kompresi atau pijat jantung. Teknik ini dilakukan dengan kedua tangan saling bertumpu di tengah dada pasien.
Bisa juga dengan melonggarkan pakaian pasien terlebih dahulu. Dengan pakaian yang lebih longgar, pasien serangan jantung diharapkan bisa bernapas dengan baik. Setelah sampai di rumah sakit, lanjutnya serahkan pada tenaga medis untuk menanganinya.
Pencegahan serangan jantung, cari penyebabnya
Untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya serangan jantung, pernahkah misalnya Anda terpikir untuk menyarankan anggota keluarga atau teman yang sakit jantung memeriksakan kadar homosistein dalam darahnya?
Sesuatu yang tidak terpikirkan bukan? Sebab pada umumnya kita selalu mengaitkan kondisi jantung dengan kadar kolesterol atau faktor-faktor hipertensi, obesitas, merokok, kurang olahraga, faktor usia, dan karena keturunan.
Tapi kini ternyata ada informasi lain, bahwa terjadinya serangan jantung atau stroke, ternyata berhubungan dengan tingginya kadar homosistein dalam darah. Apa itu homosistein dan apa saja pengaruhnya pada tubuh?
Asalnya dari metabolisme metionin
Dalam bukunya What your doctor doesn’t know about nutritional medicine may be killing you, Dokter Ray D. Strand, M.D., seorang dokter dari Amerika, menjelaskan bahwa homosistein adalah senyawa antara, yang dihasilkan pada metabolisme metionin (yaitu sejenis asam amino esensial).
Metionin banyak terdapat dalam makanan yang kita konsumsi setiap hari, seperti daging, telur, susu, keju, tepung terigu, makanan kalengan, dan makanan yang telah dimasak berulang-ulang.
Tubuh memang membutuhkan metionin untuk bertahan hidup. Secara normal tubuh akan mengubah homosistein kembali menjadi sistein atau menjadi metionin lagi. Namun enzim yang bertugas untuk mengubah kembali homosistein menjadi sistein atau metionin, membutuhkan cukup asam folat, vitamin B12, dan vitamin B6 agar bisa bekerja dengan baik. Jika kekurangan zat-zat tersebut, maka kadar homosistein dalam darah akan mulai meningkat.
Dikutip dari laman prodia (www.prodia.co.id), kenaikan kadar homosistein juga dapat disebabkan oleh adanya gangguan fungsi enzim akibat adanya mutasi genetik, faktor fisiologi seperti penambahan usia, penurunan fungsi ginjal, kondisi menopause, dsb.
Juga faktor kondisi klinik (gagal ginjal, hipotiroid, diabetes, dsb.) dan juga disebabkan meminum obat-obatan antifolat (methotexate, antikonvulsan, trimetoprim), anestesi nitrit oksida, L-Dopa, dll.
Peningkatan kadar homosistein dalam darah tersebut diperkirakan sebagai penyebab dari 15 persen kasus serangan jantung dan stroke di seluruh dunia. Di Amerika sendiri, homosistein diperkirakan merupakan penyebab dari 225.000 serangan jantung dan 24.000 kejadian stroke setiap tahun. Belum lagi kasus penyakit pembuluh darah lainnya sebagai akibat langsung dari tingginya kadar homosistein tersebut.
Bukan teori baru
Menurut Dr. Strand, teori mengenai homosistein ini mulanya dicetuskan oleh Dr. Kilmer McCully, seorang ahli patologi (ilmu penyakit) dan peneliti alumni Harvard Medical School pada pertengahan tahun 1960-an.
Dr. McCully lalu menjadi salah seorang ahli patologi di Massachusetts General Hospital dan asisten dosen di Harvard Medical School. Sejak awal karirnya, Dr. McCully sangat tertarik pada penyakit yang disebut homosistinuria.
Ia menemukan kasus tersebut pada anak-anak yang menderita kelainan genetik sehingga tubuhnya tidak bisa memetabolisme metionin. Karena itu, kadar homosistein dalam darahnya sangat tinggi. Dua orang anak laki-laki yang meninggal karena serangan jantung, disebabkan oleh faktor genetik tersebut, karena umurnya belum mencapai 8 tahun.
Berdasarkan pengamatannya, ia menemukan bahwa kerusakan yang terjadi pada pembuluh darah kedua anak itu mirip dengan yang dialami laki-laki tua yang mengalami pengerasan pembuluh darah yang parah.
Hal itu membuatnya mulai menduga adanya hubungan antara kadar homosistein dalam darah orang-orang tertentu dengan kejadian serangan jantung dan stroke pada rata-rata pasien.
Teori tentang homosistein itu lalu dilaporkan Dr. McCully di beberapa jurnal pada akhir 1960-an dan awal 1970-an, dan mendapat sambutan sangat antusias. Namun teori mengenai tingginya kadar kolesterol dalam darah sebagai penyebab serangan jantung dan stroke di kemudian hari justru lebih dikenal orang.
Tahun 1990, Dr. Meir Stampfer, pengajar nutrisi dan epidemiologi dari Harvard School of Public Health, melaporkan bahwa meski kadar homosistein hanya sedikit meningkat, sebenarnya sudah cukup meningkatkan risiko terkena serangan jantung.
Bulan Februari 1995, Dr. Jacob Selbub juga melaporkan di New England Journal of Medicine bahwa tingginya kadar homosistein berhubungan dengan meningkatnya risiko penyempitan dua pembuluh darah utama yang memasok darah ke otak. Selhub juga mencatat bahwa umumnya pasien dengan kadar homosistein tinggi juga rendah kadar asam folat, vitamin B6, dan vitamin B12 dalam darahnya.
Lama-kelamaan, meski belum diterima oleh semua pihak, umumnya para peneliti di Amerika menerima kenyataan bahwa homosistein adalah faktor risiko independen bagi penyakit jantung dan pembuluh darah. Teori itu juga menjelaskan mengapa ada orang yang bisa terkena serangan jantung meski kadar kolesterol dalam darahnya normal.
Semakin rendah semakin baik
Semakin tinggi kadar homosistein dalam makanan yang kita konsumsi sehari-hari, semakin berat tugas tubuh kita untuk melakukan metabolisme dan menghancurkannya menjadi metionin. Karena itu, sebaiknya kita lebih berhati-hati dengan banyaknya daging, susu beserta hasil olahannya yang kita konsumsi sehari-hari.
Jika dikaji, sebenarnya makanan tersebut adalah juga makanan yang tinggi kadar lemak jenuh dan kolesterolnya. Jadi tak ada salahnya untuk menguranginya dan memperbanyak konsumsi buah dan sayuran serta protein nabati.
Hal lain yang perlu dilakukan adalah mencukupi kebutuhan asam folat, vitamin B6, dan B12, sehingga enzim yang bertugas mengubah kembali homosistein menjadi metionin bisa bekerja dengan baik.
Tetapi memang makanan yang banyak mengandung ketiga jenis vitamin B tersebut tidak seluruhnya berupa makanan nabati. Apalagi vitamin B12 pada umumnya memang terdapat pada bahan pangan hewani.
Jadi, bagi yang sudah berpenyakit jantung, sebaiknya membatasi konsumsi makanan sumber vitamin B yang asal hewan dan sedapat mungkin mencukupi asupan ketiga jenis vitamin tersebut dari buah-buahan, sayuran, dan protein nabati.
Dokter Strand sendiri cenderung menganjurkan untuk mengkonsumsi suplemen asam folat, vitamin B6, dan vitamin B12. Namun ia juga mengakui bahwa tidak semua pasiennya memberikan respon yang positif dengan pemberian suplemen vitamin B. Menurutnya ini menandakan bahwa pasien tersebut memiliki masalah dalam memproses homosistein menjadi senyawa yang tidak membahayakan tubuhnya.
Lalu berapa banyak seharusnya kadar homosistein dalam darah supaya kesehatan tetap terjaga? Ternyata ada banyak pendapat yang berbeda. Dr. Strand berpendapat bahwa semakin rendah kadar homosistein, akan semakin baik. Jika mungkin, di bawah 7.
Karena berbeda dengan kolesterol yang memang dibutuhkan oleh tubuh untuk memproduksi bagian-bagian sel tertentu dan hormon, homosistein belum banyak diketahui manfaatnya dari segi kesehatan. (SA)