Jumlah penderita penyakit jantung terus meningkat. Untuk menangani masalah penyakit jantung ini pemerintah lebih menekankan pada pencegahan. Karena sebagian besar penyakit tidak menular sebenarnya dapat dicegah dengan pola hidup sehat.
Sehatalami.co ~ Berdasarkan data Sample Registration System (SRS) 2014, penyakit jantung menduduki peringkat kedua tertinggi setelah stroke untuk tingkat kematian terbanyak.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular dr. Cut Putri Arianie, MH.Kes berdasarkan Riskesdas 2013, penyakit jantung 0,5 persen dari jumlah penuduk Indonesia, namun pada Riskesdas 2018 angkanya menjadi 1,5 persen.
Menurut dr Cut Putri, peningkatan jumlah penderita penyakit jantung tersebut dilatarbelakangi oleh banyak perubahan transisi di masyarakat. Transisi tersebut berupa perubahan tren penyakit menular menjadi tidak menular, transisi usia harapan hidup manusia yang semakin panjang.
”Transisi usia harapan hidup semakin panjang berpotensi terkena penyakit tidak menular lainnya semakin tinggi,” katanyasebagaimana dilansir dari laman resmi kementerian kesehatan, (23/9).
Transisi teknologi
Selain itu, transisi teknologi juga memicu bertambahnya jumlah penderita sakit jantung. Misalnya keberadaan transportasi online yang menyediakan layanan pemesanan makanan. Transisi ini berpengaruh pada peningkatan jumlah penderita sakit jantung. Hal ini juga dipengaruhi oleh perilaku dan gaya hidup seseorang.
Selain itu, transisi teknologi juga memicu bertambahnya jumlah penderita sakit jantung. Misalnya keberadaan transportasi online yang menyediakan layanan pemesanan makanan. Transisi ini berpengaruh pada peningkatan jumlah penderita sakit jantung. Hal ini juga dipengaruhi oleh perilaku dan gaya hidup seseorang.
Untuk menangani masalah penyakit jantung ini pemerintah lebih menekankan pada pencegahan. Karena sebagian besar penyakit tidak menular sebenarnya dapat dicegah dengan pola hidup sehat.
”Yang paling mungkin, penyakit jantung ini bisa dicegah ketika itu ada di faktor risiko dengan mengubah perilaku. Faktor risiko berupa merokok, kurang aktivitas fisik, tidak mengonsumsi makanan yang mengandung gula, garam, lemak berlebihan, kemudian ada juga faktor genetik untuk penyakit jantung ini,” ucapnya.
Tapi, tambah dr. Cut, yang paling mungkin dicegah adalah saat seseorang memiliki faktor-faktor risiko tersebut kemudian mengubah gaya hidupnya. ‘Kalau orang merokok berhentilah merokok, yang malas bergerak aktivitas fisiklah minimal 30 menit perhati, dan mengendalikan asupan gula, garam, lemak, jangan berlebihan,” ungkap dr. Cut.
Untuk mengurangi jumlah perokok, Kemenkes telah menerapkan aturan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Pemerintah daerah didorong untuk menerapkan aturan tersebut secara optimal di 7 tatanan, antara lain KTR di fasilitas layanan kesehatan, tempat kerja, tempat belajar-mengajar, tempat bermain anak, fasilitas umum, angkutan umum, dan tempat ibadah.
Selain itu, dr. Cut mengingatkan masyarakat untuk menerpakan Germas yang di antaranya aktivitas fisik, makan buah dan sayur, cek kesehatan secara berkala, dan diet seimbang.
”Diet seimbang artinya jangan berlebihan mengonsumsi gula dan garam, dan mau deteksi dini. Berdasarkan penelitian, 7 dari 10 orang Indonesia tidak tahu bahwa dia membawa faktor risiko penyakit tidak menular di dirinya,” tuturnya.
“Semakin cepat dideteksi dini, semakin cepat mereka mendapat informasi tentang pencegahan dan mau menerapkan di kehidupan sehari-hari, maka semakin akan terhindar dia dari faktor risiko dari penyakit jantung,” ucap dr. Cut. (SA)
Sumber: http://www.depkes.go.id/