“Sedih deh, kalau sudah hari Senin lagi. Penginnya di rumah terus, biar bisa nemenin Cyndi main, nyanyi-nyanyi, dan ngeliat tingkah dan perkembangannya sepanjang hari,” begitu curhat dari Nadia (31), ibu dari seorang puteri cantik yang baru berusia 2 tahun. Usia yang sedang lucu-lucunya, begitu orang bilang.
Belum lagi, keluhan-keluhan tentang sikap dan tingkah lagu asisten rumah tangga yang seolah tak optimal dalam menjaga dan menemani anak-anak kita di rumah, yang berujung pada pemikiran untuk berhenti bekerja, dan menjadi full time mother. “Aduuh, sebel deh! Si Mbakku di rumah kerjaannya telpon melulu! Kalau enggak telpon ya SMS. Kapan dia merhatiin anakku. Jadi enggak tega deh ninggalin Alvaro cuma sama mbaknya sepanjang hari begini,” kata Galih (35) karyawati sebuah perusahaan swasta di Jakarta.
Apakah Anda punya keluhan yang sama?
1. Anda tidak sendiri
Jangan ragu untuk menjawab ‘Ya’. Karena memang, sebagian besar wanita – khususnya yang bekerja full time – pernah merasakan dilema ini. Merasa tak menjadi ibu 100% karena tak sepanjang hari berada di rumah, tapi sulit juga untuk melepaskan pekerjaan begitu saja, karena ada tuntutan kehidupan lain yang juga harus dipenuhi.
Jadi, Anda tidak sendirian.
Bahkan, sebuah Survey yang dilakukan oleh Pew Research Center menemukan bahwa hanya 10% wanita bekerja yang menilai dirinya sendiri tinggi, untuk kualitasnya sebagai orang tua. Bahkan, hasil survey ini tidak terlalu berbeda pada kelompok wanita yang bekerja secara part time, untuk kelompok ini, hanya 24% wanita yang menilai tinggi kemampuan mereka dalam membesarkan anak.
Lalu, pertanyaannya kemudian adalah, apakah ini berarti kita harus berhenti bekerja dan menjadi full time mother, agar bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anak kita?
2.Tak semua orang bisa memilih
Bagi sebagian wanita, tugas untuk membantu mencari nafkah dengan bekerja di kantor dan mengurus anak di rumah, bisa dipilih. Para wanita ini, umumnya adalah mereka yang memang sudah memiliki ‘modal’ cukup untuk membiayai hidup keluarga selama bertahun-tahun ke depan, tanpa mereka harus bekerja. Entah karena sang suami yang sanggup menjadi satu-satunya tiang penyangga keluarga itu karena bergaji cukup besar, atau karena memang sudah ada simpanan uang cukup besar di rekening mereka hasil bekerja keras bertahun-tahun sebelumnya.
Tapi, harus diingat, tak semua dari kita – para wanita bekerja – yang memang harus menjalankan dua peran itu sekaligus, menjadi ibu untuk anak kita, sekaligus menjadi tiang penyangga ke dua untuk keluarga kita. “Kalau saya enggak bekerja, ya anak saya jadi enggak bisa makan enggak bisa sekolah, dong!” begitu Ratna mengakui kondisinya. (SA)