Seksualitas bukanlah sekedar berhubungan seks. Walter Last, seorang penulis masalah seksualitas, menjelaskan bahwa sexual healing melibatkan perasaan dan emosi sepanjang usia.
Sehatalami.co ~ Sexual healing. Belum terlalu populer, namun siapa tahu di masa mendatang akan makin populer, terutama untuk kembali menciptakan kebahagiaan di antara pasangan suami istri (pasutri). Di tengah derap kehidupan modern yang makin seperti ‘robot’, padat dan serba tergesa-gesa, banyak sisi hubungan antar manusia yang kehilangan emosi, termasuk pola hubungan intim suami-istri.
Hubungan seks dilakukan hanya sebagai kewajiban pemenuhan kebutuhan semata, dengan target tercapainya ejakulasi. Pasangan tak sempat lagi berkreasi menciptakan cara-cara efektif berhubungan yang bisa saling melimpahkan kasih sayang, menenangkan, dan membahagiakan.
Dari rasa perih-panas, hingga berujung cerai
Seorang pasien laki-laki dikirim untuk berobat kepada seorang hipnoterapis di Jakarta. Keluhannya, gatal-gatal dan melepuh di sekitar pangkal paha, setiap kali sehabis berhubungan dengan istri. Dia sudah 3 tahun berobat pada ahli penyakit kulit, tapi belum sembuh..
Melihat ada gangguan psikis, dokter ahli penyakit kulit mengirim si pasien kepada praktisi hipnoterapi, Purnawan E. A. “Ternyata dia tergolong yang berpandangan ‘kolot’, melihat seks sebagai hal yang tabu. Seks bukan untuk dinikmati tetapi, sebuah kewajiban untuk mendapatkan keturunan. Pandangan sang istri tak jauh berbeda,” ucap hipnoterapis menggambarkan salah satu problem seksual yang kini makin banyak ditanganinya.
Dorongan seksual adalah energi yang jika ditekan akan memberontak, demikian kata Purnawan EA dalam sebuah seminar di Jakarta. Salah satu bentuknya adalah mengusik kulit di sekitar pangkal paha. Mungkin saja benar-benar ada bakteri atau jamur di situ, tetapi peran kuman ini memang diberi keleluasaan oleh tubuh.
Sementara tubuh selalu ‘dikomando’ oleh pikiran. Setelah pasien disadarkan mengenai kehidupan seksnya, akhirnya problem sekitar paha ini sembuh.
Dokter Jusni I. Solichin, Sp.K.J. seorang dokter ahli psikoterapi di Jakarta, menceritakan salah satu kasus yang dialami pasiennya. Pasangan yang sudah 8 tahun tahun menikah namun belum berhasil melakukan hubungan seksual (penetrasi).
Pemeriksaan yang seksama menunjukkan, bahwa sang istri mempunyai trauma masa kecil yang memicu terjadinya vaginismus (kontraksi otot vagina, sehingga menutup erat) saat melakukan hubungan seks. Trauma itu terjadi saat berusia 5.5 tahun, ia mengalami sexual abuse. Setelah masalah utamanya diatasi, pasangan ini berhasil menjalankan hubungan suami-istri secara normal.
Seorang istri yang sudah menikah selama 24 tahun, setelah 2 anaknya lulus perguruan tinggi memutuskan mengajukan gugatan berpisah dari suaminya. Si istri mengaku selama 24 tahun menikah belum pernah merasakan orgasme saat berhubungan seksual. Dia menyatakan selama ini hanya bertugas ‘melayani’ sang suami.
Demikian rupa-rupa kasus yang sering diceritakan oleh dokter di klinik-klinik konsultasi seks di Jakarta Pusat. Menandakan ada banyak kasus kurang harmonisnya pasangan yang dipicu oleh gangguan seksual. Menurut sebuah penelitian, gangguan seks pada wanita jauh lebih banyak terjadi dibanding pada laki-laki (laki-laki 22%, sedang wanita 55%).
Ibaratnya fenomena gunug es, yang tampak hanya bagian puncak, padahal problem yang sebenarnya jauh lebih mendalam, tertimbun oleh budaya dan mitos-mitos yang menabukan seksualitas. Korbannya, siapa lagi kalau bukan wanita !
Seksualitas bukan sekedar berhubungan seks
Seksualitas bukanlah sekedar berhubungan seks. Walter Last, seorang penulis masalah seksualitas, menjelaskan bahwa sexual healing melibatkan perasaan dan emosi sepanjang usia.
Saat janin masih dalam kandungan, seksualitas bisa diartikan sebagai perasan aman, detak jantung yang sinergi dengan jantung sang ibu, riak halus air ketuban yang menjadi bantal tidurnya, serta perasaan nyaman bisa menghisap jempolnya sendiri.
Ketika bayi telah lahir, tergolek nyaman dan terhindar dari bahaya, sentuhan yang halus dan menyusu pada ibunya merupakan aspek seksualitas. Dengan bertambahnya umur, anak-anak mengenal lebih jauh organ seksnya dan mencoba berbagai hal untuk mendapatkan berbagai sensasi saat berinteraksi dengan sekelilingnya.
Melangkah ke usia pubertas, seksualitas seolah ‘merekah’ menebar energi ke sekitarnya. Kebangkitan perasaan yang memerlukan sambutan. Pada tingkat yang lebih dewasa, hubungan antar lawan jenis bertahan dalam waktu yang relatif lama.
Pada tahap inilah dibutuhkan panduan, arahan untuk menjinakkan ‘erotic love’ yang bisa menjadi tak terkendali. Erotisme hanya berdasar atraksi seksual semata, sedangkan cinta yang matang berdasarkan pada komunuikasi spiritual. (SA)