Adapun hakim konstitusi Aswanto meminta LPPOM MUI menegaskan lagi masalah yang ada di lembaga tersebut. Lalu bagaimana bila kewenangan itu berpindah ke BPJPH. Apa perbedaan ketika ditangani oleh dua lembaga yang berbeda? Dan mana yang lebih menguntungkan masyarakat?
Sehatalami.co ~ Sedianya, mulai hari ini (16/10/2019), otoritas lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal tidak lagi di Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI), tapi di bawah Kementerian Agama (Kemenag).
Namun ternyata, LPPOM MUI seolah belum ikhlas menyerahkan otoritas penetapan sertifikasi halal tersebut kepada Kemenag, sehingga menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Sebagaimana dilansir dari laman detik.com (16/10), gugatan tersebut terdaftar dalam Perkara Nomor 49/PUU-XVII/2019 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 5, Pasal 6, Pasal 47 ayat (2) dan ayat (3)] terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Gugatan tersebut sudah memasuki tahap pemeriksaan pendahuluan dan hakim MK memberikan masukan kepada pemohon. “Agar betul-betul diuraikan bahwa memang adanya penerapan sistem mandatory itu. Mandatory hal itu apakah benar-benar itu menjadi menimbulkan hal kerugian ataupun tidak dilindunginya Para Pemohon di sini karena akibat adanya ketidakpastian hukum?” kata hakim konstitusi Manahan Sitompul sebagaimana dikutip dari website MK, Rabu (16/10/2019).
Manahan meminta diyakinkan kembali apa kerugian LPPOM MUI dengan lahirnya Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
“Memang sebelumnya bagaimana kewenangan ataupun hak-hak daripada lembaga sebelumnya? Apakah memang ini benar ada hak konstitusional yang diberikan kepada lembaga ini, lembaga LPPOM MUI ini? Dan ini harus dijelaskan juga bahwa apakah LPPOM MUI inilah yang punya hak untuk memberikan atau membuat satu standardisasi halal itu atau malah lembaga MUI-nya?” ujar Manahan.
Adapun hakim konstitusi Aswanto meminta LPPOM MUI menegaskan lagi masalah yang ada di lembaga tersebut. Lalu bagaimana bila kewenangan itu berpindah ke BPJPH.
“Saudara bisa menggambarkan apa sih, sebenarnya perbedaan ketika ditangani oleh dua lembaga yang berbeda? Dan mana yang lebih menguntungkan masyarakat? Apakah ketika dilakukan oleh LPPOM MUI, itu masyarakat lebih dimudahkan atau bagaimana kaitannya setelah ditangani oleh BPJPH. Apa masyarakat malah merasa dirugikan?” tanya Aswanto.
Berikut total kewenangan BPJPH Kementerian Agama:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH;
b. menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH;
c. menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk;
d. melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri;
e. melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal;
f. melakukan akreditasi terhadap LPH;
g. melakukan registrasi auditor halal;
h. melakukan pengawasan terhadap JPH;
i. melakukan pembinaan auditor halal; dan
j. melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.
Sidang judicial review di atas masih berlangsung dan belum diputuskan MK. Di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat tidak ikut melakukan judicial review UU Jaminan Produk Halal.
Gugatan itu diajukan oleh LPPOM MUI dari 28 daerah di Indonesia. “MUI tidak mengajukan judicial review atas UU JPH. MUI berkomitmen agar jaminan produk halal dapat berjalan secara efektif dan efisien,” kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Sholeh.” (SA)
Sumber: news.detik.com