Gangguan manik-depresif atau bipolar ini ditengarai sebagai salah satu penyebab orang punya keinginan bunuh diri. Namun jika dikelola dengan baik – dengan pengobatan dan terapi yang konsisten – gangguan suasana hati yang ekstrim ini bisa dikontrol. Penderitanya pun bisa hidup dengan normal.
Sehatalami.co ~ Kasus bunuh diri pada remaja masih saja terjadi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah menerbitkan penelitiannya tentang perkiraan tingkat bunuh diri. Penelitian selesai dilakukan tahun 2016 dengan sedikit penyempurnaan terakhir tahun 2018. Dari beberapa tahun sebelumnya, terlihat peningkatan angka bunuh diri di Indonesia.
WHO menuliskan perkiraan ini per 100 ribu orang. Pada tahun 2000 ada 5,9 pria dari 100 ribu pria melakukan bunuh diri. Pada 2010, angkanya turun sedikit menjadi 5,6. Pada 2015, angkanya kembali turun menjadi 5,3. Pada 2016, angka itu kembali turun menjadi 5,2.
Angka bunuh diri diri yang dilakukan perempuan juga turun sejak tahun 2000. Saat itu tercatat angkanya berada pada 2,7 per 100 ribu orang. Pada 2010 menjadi 2,4. Pada 2015 turun menjadi 2,2. Pada 2016 angka itu tetap sama.
Jila dirata-rata dari kedua jenis kelamin, tingkat bunuh diri di Indonesia pada tahun 2000 adalah 4,3. Angka itu turun menjadi 4 pada 2010. Pada 2015 angka itu menjadi 3,7. Terakhir pada 2016, tingkat bunuh diri Indonesia tetap pada angka 3,7.
Dengan angka 3,7 itu, Indonesia berada di peringkat 159 dalam hal tingkat bunuh diri di dunia. Negara dengan tingkat bunuh diri tertinggi di dunia adalah Guyana dengan angka 30,2. Disusul di peringkat kedua ada Lesotho dengan tingkat bunuh diri 28,9. Di ranking ke-3, ada Rusia dengan tingkat bunuh diri 25,5.
Banyak faktor penyebab bunuh diri
Meskipun banyak faktor ditengarai sebagai penyebabnya – seperti kesulitan ekonomi, masalah keluarga, juga rasa putus asa – penelitian yang dilakukan oleh Dr Ghanshyam Pandey beserta timnya dari University of Illinois, Chicago, menemukan bahwa 9 dari 17 remaja yang meninggal akibat bunuh diri memiliki sejarah gangguan mental. Dan salah satu gangguan yang bisa membawa seseorang menuju pada keputusan bunuh diri adalah bipolar disorder.
Gangguan bipolar yang sering disebut sebagai gangguan manik-depresif bisa dikenali dari gejalanya yang menunjukkan perubahan yang ekstrim dalam emosi, pikiran, serta tindakan yang berganti-ganti secara cepat dan terkadang tanpa alasan yang jelas.
“Pola berpikir penderita yang semula tenang, jelas, bahkan penuh ide kreatif dapat berubah menjadi kacau, tidak jelas, dan bahkan penuh halusinasi. Emosinya juga berubah dalam hitungan detik, begitu juga perilaku penderita yang tadinya aktif, ceria, tiba-tiba dapat berubah secara cepat menjadi tertutup, sedih, bahkan sampai ingin bunuh diri,” kata Liza Marielly Djaprie, MPsi, CH, psikolog dan hipnoterapis di Sanatorium Dharmawangsa, Jakarta.
Stres sebagai faktor pemicu
Hal ini terungkap juga dari cerita ibu Laila (bukan nama sebenarnya) yang salah seorang anaknya mengalami bipolar, “Anak saya sering bilang sudah tidak kuat hidup dan ingin bunuh diri hanya karena dia merasa prestasi di sekolahnya tak seperti yang diharapkan. Padahal, anak saya ini pinter banget, loh!” katanya.
Peristiwa yang hampir merenggut nyawa anaknya pun pernah terjadi, “Gara-gara masalah sepele, ia merasa tak kuat hidup, lalu melukai dirinya sendiri sampai nyaris tak tertolong,” kenang Laila.
Dida (25 tahun) yang telah didiagnosa mengalami bipolar sejak sekitar 5 tahun lalu pun tak menyangkal bahwa penderita bipolar mudah sekali mengalami gangguan suasana hati dan perilaku. “Emosi saya cepat tersulut kalau saya merasa tertekan, terpojok, dipaksa melakukan sesuatu yang kurang saya suka, atau dihadapkan pada banyak masalah,” ceritanya.
Ketika mengalami gangguan emosi itu, terkadang ia menyadarinya, tapi merasa tak mampu untuk mengontrolnya., Ada kalanya juga ia sama sekali tak sadar akan apa yang telah dilakukannya. “Saya baru tahu ketika orang lain menceritakannya kepada saya,” kata Dida.
Terbanyak karena faktor keturunan
Penyebab utama terjadinya bipolar adalah faktor keturunan, seperti terungkap dalam buku Manic Depressive Illness yang ditulis oleh Goodwin dan Jamison. Disebutkan bahwa 2/3 penderita bipolar yang diteliti memiliki faktor genetik.
“Jadi, kalau salah satu anggota keluarga dalam keluarga bipolar ada gejala-gejala bipolar, penting sekali untuk mendapat perhatian jika ada perubahan-perubahan emosi dan perilaku yang tidak normal, baik pada diri sendiri maupun orang lain,” demikian wanti-wanti Liza.
Dengan nada penyesalan Laila mengungkapkan bahwa di keluarganya memang ada kasus bipolar. “Sayangnya saya tidak tahu bahwa itu menurun sehingga saya tidak memerhatikan gejala-gejala bipolar yang muncul pada anak saya,” cerita Laila.
Meski telah diketahui pentingnya faktor genetis sebagai pencetus bipolar, menurut Liza hingga saat ini belum ada cara untuk mencegah agar gangguan ini sama sekali tidak muncul pada seorang pembawa gen bipolar. “Yang bisa dilakukan hanya menekan tingkat stres untuk mengurangi kemungkinan terpicunya gangguan manik-depresif,” tutur Liza.
Lagi pula, masalah genetik juga bukan satu-satunya penyebab. “Kalau orang terbiasa memandang dirinya dan hal-hal yang terjadi dalam hidupnya secara negatif, merasa dirinya tidak berguna, dan hidupnya penuh dengan masalah, meski secara genetik dirinya “aman”, ia tetap bisa mengalami gangguan bipolar akibat kesedihan yang ia ciptakan sendiri,” Liza menerangkan.
Manajemen stres dan terapi psikologis
Salah satu cara mencegah munculnya gangguan mood pada penderita bipolar adalah dengan manajemen stres, lewat bimbingan pola berpikir yang tepat dalam menghadapi tuntutan hidup. Hal ini juga dipelajari oleh Dida, “Sekarang ini, kalau dihadapkan pada banyak masalah, saya tidak berusaha mengatasinya sekaligus, tapi mencoba menyelesaikannya satu per satu.”
Dida juga punya cara untuk membuat hatinya lebih tenang, “Saya lebih sering mendengarkan musik atau menonton film,” cerita Dida.
Liza pun mengiyakan, “Penderita bipolar bisa menemukan inspirasi tentang cara menjalani hidup yang lebih baik, antara lain dengan menonton film.” Meski begitu, Liza mengingatkan bahwa terapi yang cocok buat satu orang belum tentu cocok buat orang lain.
Untuk mengatasi gangguan emosi pada penderita bipolar, Liza menyebutkan beberapa terapi:
- Terapi kognisi: penderita dilatih untuk mengembangkan pola berpikir yang tepat.
- Terapi perilaku: melatih penderita mengendalikan perilaku impulsifnya.
- Terapi psikoanalisa: mengelola konflik dan emosi yang terpendam di masa lalu.
- Terapi kelompok: melatih kemampuan berinteraksi sosial.
- Terapi keluarga: melatih anggota keluarga dan penderita untuk bersama menyelesaikan konflik di antara mereka, dan melatih anggota keluarga untuk menjadi kelompok suportif bagi penderita,
Sementara terapi pendukung lainnya yang boleh dipertimbangkan adalah relaksasi, meditasi, dan hipnoterapi untuk melatih fokus dan ketenangan dalam diri penderita.
Ketidakseimbangan neurotransmiter otak
Tapi penelitian lanjutan oleh para peneliti menunjukkan bahwa ternyata gangguan bipolar tak semata-mata merupakan masalah psikis. Sebuah penelitian yang dipublikasikan di American Journal of Psychiatry melaporkan bahwa otak para penderita bipolar memiliki 30% lebih banyak sel yang mengirimkan sinyal ke otak lain daripada otak orang yang normal.
Penelitian ini kemudian mengasumsikan bahwa sel-sel pengirim sinyal yang terlalu banyak ini mungkin menyebabkan stimulasi yang terlalu berlebihan di otak, yang kemudian memunculkan gejala gangguan bipolar. “Dari hasil pemeriksaan otak anak saya, ternyata jumlah dopaminnya jauh lebih banyak dari orang normal,” terang Delly, ibunda Dida.
Dopamin, serotonin, dan norepinefrin adalah tiga neurotransmiter otak yang bertanggung jawab pada seluruh proses di tubuh, termasuk mengatur suasana hati, emosi, cara tubuh merespons stres dan stimulasi dari luar tubuh, menjalankan fungsi kognitif, dan semua fungsi tubuh lainnya.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim pimpinan Jon Zubieta, MD dari University of Michigan menemukan bahwa otak orang yang mengalami gangguan bipolar memiliki sejumlah sel yang memproduksi dopamin, serotonin, dan norepinephrin dalam jumlah besar. Sel-sel ini terkonsentrasi pada bagian tertentu di otak, dan terus aktif, bahkan ketika penderita bipolar sedang beristirahat.
Karena itulah, Liza menegaskan, terapi farmakologi pada penderita bipolar mutlak dibutuhkan, tentu dengan dosis yang disesuaikan dengan kondisi penderita. Secara umum, obat-obatan yang digunakan pada penderita bipolar berfungsi sebagai antidepresan untuk menstabilkan emosi dan menjaga keseimbangan neurotransmiter di otak. Dida pun merasakan efek positif dari obat ini, “Setelah mendapat medikasi dari psikiater, saya merasa dapat mengatur mood saya.”
Menyeimbang neurotransmiter lewat nutrisi
Sebagian besar neurotransmiter terbentuk dari protein atau subunitnya yang disebut asam amino. Karena itu keseimbangan neurotransmiter juga bisa diusahakan lewat asupan makanan yang cukup dan seimbang.
Serotonin, misalnya, terbentuk dari asam amino triptofan yang terdapat dalam ikan, daging, produk susu, telur, dan kacang-kacangan. Karbohidrat pun bisa meningkatkan kadar serotonin.
Sementara dopamin terbentuk dari asam amino tirosin yang ditemukan pada ayam, ikan, produk susu, almon, alpukat, pisang, produk kedelai, labu, dan biji wijen.
“Tidak perlu menghindari makanan tertentu, atau hanya mengonsumsi jenis makanan tertentu demi meningkatkan kadar neurotransmiter tertentu. Karena sebenarnya semua zat gizi dalam makanan diperlukan dalam produksi dan fungsi neurotransmiter.” demikian disampaikan oleh Andang Gunawan, ahli nutrisi yang juga Pemimpin Redaksi majalah Nirmala. “Yang penting seimbang saja,” tambahnya.
Penerimaan dan keterbukaan
Cara mengatur asupan makanan yang sehat dan seimbang, juga terapi-terapi yang dapat digunakan untuk menenangkan suasana hati penderita bipolar adalah sebagian usaha Laila demi meningkatkan kualitas hidup anaknya.
Delly pun, mengaku melakukan hal yang sama. “Inilah hikmahnya. Karena anak saya, maka saya mendapat kesempatan belajar banyak hal, dan membuat hidup saya jadi lebih kuat,” ungkap Delly, yang memutuskan untuk menempuh pendidikan di bidang psikologi, setelah mengetahui anaknya menderita bipolar. .
Ia pun mengaku menyesal sempat menolak kenyataan ketika anaknya didiagnosa bipolar. “Penolakan hanya memperparah keadaan. Karena sibuk menolak, saya tidak mengambil tindakan apa pun untuk meredam gangguan pada anak saya,” sesalnya.
Tak hanya Delly sebagai orangtua, Dida sebagai penderita juga sempat tak bisa menerima kenyataan tentang dirinya. “Meski di satu sisi saya sadar kalau saya sering mengalami mood swing (perubahan suasana hati), dan mudah berpikiran negatif, saya tidak bisa menerima kenyataan bahwa saya ini menderita bipolar,” katanya.
Baik Delly maupun Dida mengaku, situasinya justru menjadi lebih mudah setelah mereka bisa menerima keadaan dan terbuka pada orang-orang di sekitar mereka. “Setelah saya mengakui bahwa anak saya mengalami bipolar, orang-orang di sekitar kami justru ikut membantu kami menjaganya, termasuk mengingatkan untuk minum obat ketika emosinya kelihatan tidak stabil,” cerita Delly.
Dukungan dari orang-orang di sekitar ini, memang dirasa penting bagi penderita bipolar. “Kesabaran dan pengertian dari orang-orang di sekitar saya, sangat berpengaruh dalam usaha saya mengontrol suasana hati,” kata Dida.
“Setelah bisa menerima kenyataan, saya juga jadi bisa menurunkan ekspektasi saya ke dia, tidak selalu menuntut untuk jadi nomor satu, Yang terpenting, saya bisa menerimanya apa adanya, mencintai dia tanpa syarat, tidak hanya mencintai kelebihannya, tapi juga kekurangannya.…” ungkap Delly.
“Dengan dukungan orang-orang di sekitarnya, pengobatan teratur, dan terapi yang berkesinambungan, penderita bipolar bisa hidup secara normal dan sembuh secara terkontrol,” Liza memastikan. “Artinya, penderita menyadari potensi dirinya untuk “meledak” sehingga ia harus lebih waspada terhadap gejala-gejalanya. Dan ketika penyakitnya muncul ia dapat sesegera mungkin mencari bantuan dan melakukan tindakan yang tepat untuk mengatasinya.” (SA)