Menurut MA, kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, tidak boleh dibebankan kepada masyarakat.
Sehatalami.co ~ Setelah Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan per 1 Januari 2020, lalu bagaimana dengan kenaikan iuran yang telanjur bayarkan oleh masyarakat? Apakah kembali ke masyarakat atau menjadi hak BPJS Kesehatan
Sepertinya MA justeru menyerahkan kembali kepada pemerintah. “Untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat dan jaminan terhadap penyelenggaraan jaminan sosial agar dapat berjalan dengan baik, Mahkamah Agung memandang perlu menguraikan akibat hukum (legal effect) terhadap iuran yang terlanjur telah dibayarkan sebelum ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019 dibatalkan. Hal demikian menurut Mahkamah Agung adalah menjadi otoritas pemerintah untuk mengaturnya lebih lanjut secara transparan dan bijaksana,” demikian bunyi Putusan MA sebagaimana dilansir dari laman detikcom, Rabu (1/4/2020).
Dengan dibatalkannya Pasal 34 Perpres 75/2019, iuran BPJS kembali ke iuran semula, yaitu:
- a. Sebesar Rp 25.500 untuk kelas 3
- b. Sebesar Rp 51 ribu untuk kelas 2
- c. Sebesar Rp 80 ribu untuk kelas 1
Diberitakan sebelumnya, melalui putusannyaa, MA menguliti buruknya pengelolaan BPJS Kesehatan sehingga keuangan menjadi buruk. Menurut MA yang dikutip dari putusan Nomor 7 P/HUM/2020, Selasa (31/3/2020), masalah BPJS Kesehatan karena dalam perumusan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dilaksanakan Dewan Jaminan Sosial Nasional ada masalah.
Kedua, penyelenggaraan program jaminan sosial oleh BPJS, yang terjadi dalam praktik selama ini terdapat suatu persoalan. Persoalan dimaksud meliputi:
- Struktur hukum (legal structure), berupa belum adanya koordinasi yang baik (ego sektoral) antara satu kementerian dengan kementerian lainnya dalam mengurus penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial;
- Substansi hukum (legal substance), berupa: adanya overlapping aturan yang diterapkan dan ketidakkonsistenan antara satu instansi dengan instansi lainnya dalam proses penegakan hukum;
- Budaya hukum (legal culture), berupa masih banyaknya perilaku tercela dan tidak terpuji baik dari kalangan pengambil kebijakan, stakeholder maupun masyarakat di bidang jaminan sosial.
- Bahwa kondisi-kondisi di atas, selanjutnya telah menimbulkan dampak sistemik secara langsung kepada masyarakat, di antaranya:
- Diskriminasi dalam pemberian pelayanan pada pasien;
- Pembatasan quota dan keterlambatan dokter dari jadwal yang sudah ditentukan;
- Pelayanan administrasi yang tidak professional, tidak maksimal dan bertele-tele;
- Sistem antrian, ketersediaan tempat tidur untuk rawat inap, dan prosedur yang menyulitkan bagi layanan cuci darah;
- Fasilitas yang tidak sesuai dengan fasilitas yang tertera pada kartu;
- Pasien terpaksa harus menambah biaya perawatan atau pasien harus menunggu untuk menjalani rawat inap;
- Obat-obatan yang disediakan oleh Pihak BPJS-Kesehatan semuanya adalah obat generik; dan lain-lain sebagainya;
Bahwa dampak-dampak tersebut, menurut Mahkamah Agung, adalah sebagai akibat dari adanya:
- Ketidakseriusan Kementerian-kementerian terkait dalam berkoordinasi antara satu dengan yang lainnya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya masing-masing yang berhubungan dengan penyelenggaraan program jaminan sosial ini;
- Ketidakjelasan eksistensi Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional, karena hingga saat ini pun boleh jadi masyarakat belum mengetahui institusi apa itu;
- Adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS; Mandulnya Satuan Pengawas Internal BPJS dalam melaksanakan pengawasan, sehingga menimbulkan kesan adanya pembiaran terhadap kecurangan-kecurangan yang terjadi;
“Menurut Mahkamah Agung, kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019,” ujar ketua majelis Supandi.
Apalagi dalam kondisi ekonomi global saat ini yang sedang tidak menentu. Kesalahan dan kecurangan (fraud) pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS tersebut haruslah dicarikan jalan keluar yang baik dan bijaksana dengan memperbaiki kesalahan dan kecurangan yang telah terjadi tanpa harus membebankan masyarakat untuk menanggung kerugian yang ditimbulkan.
“Pembiaran terhadap Kesalahan dan kecurangan (fraud) yang terjadi justru pada akhirnya akan merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara,” cetus majelis.
Oleh karena itu, kata majelis, dibutuhkan kesadaran bersama berupa kehendak politik (political will) dari Presiden beserta jajarannya selaku pemegang kekuasaan pemerintahan dan niat baik (good will) dari masyarakat dan penyelenggara program jaminan sosial. Yaitu untuk bersama-sama memperbaiki akar persoalan yang ada, membenahi sistem sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan program jaminan kesehatan yang sedang berjalan.
“Agar tujuan untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dapat terwujud,” papar majelis.
“Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, kenaikan Iuran bagi peserta PBPU dan Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019 secara sosiologis adalah bertentangan dengan kehendak masyarakat,” pungkas majelis. (SA)