Hari Raya Idul Fitri identik dengan ungkapan permohonan maaf. Meski mudah untuk diucapkan, namun sering sulit untuk memaknainya dengan benar. Bagaimana caranya untuk mencapai maaf yang ikhlas agar bisa menyehatkan jiwa dan raga?
Sehatalami.co ~ Lebaran yang istimewa, lantaran dirayakan di tengah suasana pandemi Covid-19. Setahun lalu kita tidak bisa bersua secara langsung dengan sanak saudara di kampung halaman. Karena menyadari bahaya yang bisa ditimbulkan. Sebagian dari kita memilih tidak mudik, dan menyampaikan permohonan maaf melalui saluran online atau daring. Ini semua demi kebaikan diri dan keluarga. Dalam rangka memutus mata rantai penularan Covid-19.
Tahun ini pemerintah mengizinkan mudik lebaran. Nah, agar permohonan maaf kita lebih bermakna, yuk kita telaah maksud dan tujuannya agar kata maaf yang kita samapikan bisa memberi manfaat, diri kita secara utuh, jiwa dan raga. Jika kita perhatikan, seringkali kata maaf meluncur dari mulut kita – menyenggol badan orang sedikit saja kita mengucapkan maaf; ingin lewat di depan orang lagi-lagi kita bilang maaf; bahkan sebelum mengakui suatu kesalahan, kita buru-buru minta maaf terlebih dahulu.
Dalam konteks ini, permintaan maaf lebih berkesan sebagai basa basi. Padahal, sebetulnya meminta maaf mempunyai makna yang lebih dalam. Kalau tidak, mengapa setiap Hari Raya Idul Fitri, umat Islam saling bermaaf-maafan.
Sejak zaman dulu pun, meminta maaf dan memaafkan dianggap sebagai hal penting dalam kehidupan. Bukan dalam agama Islam saja, agama-agama yang mendunia seperti agama Kristen, Hindu, dan Buddha juga memasukkan maaf dalam ajarannya.
Apa yang diketahui oleh orang zaman dahulu secara naluri, kini telah dibuktikan melalui penelitian secara ilmiah bahwa meminta maaf dan memberi maaf mengandung banyak manfaat, bukan saja bagi jiwa, tapi juga bagi kesehatan fisik. Para ahli ini pun telah menyusun step yang memudahkan kita untuk menemukan kunci menuju pintu gerbang maaf yang membawa kita ke suasana hati yang lebih nyaman dan bahagia.
Melepaskan marah dan bergerak maju
Katherine Piderman, PhD, staf ahli di Mayo Clinic mengatakan bahwa maaf (forgiveness) adalah keputusan untuk melepaskan perasaan marah, benci, dan kesal, dan juga pikiran-pikiran untuk membalas dendam. ”Memaafkan bisa mendatangkan pemahaman, empati, dan kasih sayang pada orang yang pernah menyakiti kita,” Piderman menambahkan.
Sebaliknya, ketika kita hidup tanpa pemaafan, maka kita akan melanggengkan derita psikis yang berawal dari sikap permusuhan dan keinginan untuk mengalahkan. Demikian dikatakan Felix Lengkong, doktor di bidang psikologi klinik yang juga menjadi dosen di Universitas Atma Jaya Jakarta (Kompas, Januari 2008).
Meski demikian, Robert Enright, PhD, profesor di bidang perkembangan manusia di University of Wisconsin Madison mengingatkan bahwa memaafkan tidak berarti kita harus berpura-pura bahwa situasi yang membuat kita tidak nyaman tidak pernah terjadi.
”Memaafkan berarti Anda menerima apa yang terjadi, berusaha menerima orang lain yang menyakiti Anda, menyadari dan mengakui bahwa Anda terluka, dan kemudian memutuskan bahwa situasi itu tidak akan Anda izinkan untuk merusak kehidupan Anda,” kata Enright.
”Tindakan orang lain yang menyakiti hati mungkin akan tetap hadir dalam memori Anda, tapi dengan memaafkan, cengkeramannya pada hati Anda akan berkurang, dan Anda bisa lebih fokus pada hal-hal positif dalam kehidupan Anda,” Piderman menjelaskan.
Menerima diri sendiri apa adanya
Meski memaafkan orang lain itu penting, Reza Gunawan, praktisi penyembuhan holistik, mengingatkan kita untuk memaafkan diri sendiri sebelum memaafkan orang lain.
”Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering marah pada diri sendiri karena hasil yang dicapai tak sesuai dengan harapan kita atau yang kita sebut sebagai sebuah kegagalan,” kata Anil Bhatnagar, seorang penulis dan trainer perubahan perilaku, dalam tulisannya yang berjudul Why Forgive?
”Sepanjang hidup, kita terbiasa untuk mengukur diri kita dan bertingkah laku sesuai standar yang ditentukan oleh masyarakat. Akibatnya, kalau pencapaian kita tidak sesuai dengan harapan masyarakat, kita mulai percaya bahwa kita tidak cukup baik dan tidak berharga.
Kemudian kita memvonis diri kita dengan kata-kata ’aku gagal…’ atau ’aku seharusnya… ’, yang menimbulkan rasa bersalah,” kata Gwen Nyhus Stewart, penulis buku The Healing Garden: A Place of Peace.
Karena itu, Reza menyarankan untuk terlebih dahulu memaafkan diri sendiri dan melepaskan diri dari berbagai ”penjara batin” yang kita ciptakan sendiri, yang menjadi akar dari segala keluhan, stres, dan penderitaan kita.
Rani Anggraeni Dewi, MA dari Yayasan Indonesia Bahagia, meyakini bahwa memaafkan diri sendiri – juga memaafkan orang lain – adalah salah satu bentuk detoks emosi. ”Racun-racun yang ada di dalam hati kita, jika tidak dibersihkan dapat meracuni juga orang lain di sekitar kita,” kata Rani.
Ditambahkan Rani, emosi negatif bisa mendorong seseorang untuk berperilaku agresif dan bisa membuat orang-orang di sekitar kita merasa disakiti dan tidak nyaman. ”Emosi itu sifatnya seperti virus, sangat menular dan tidak pandang bulu,” komentar Rani.
Usir berbagai penyakit fisik
Lebih lanjut menurut Rani, ketika kita memendam emosi-emosi negatif di dalam hati kita, selain menyiksa diri dan membuat orang di sekitar kita menderita, ternyata kita juga bisa merusak fisik.kita
Dr Tim Ong, penulis buku From Fear to Love: A Spiritual Journey, mengatakan bahwa seringkali penyakit fisik adalah manifestasi dari emosi dan konflik yang belum terselesaikan, yang umumnya berhubungan dengan kemarahan dan menyalahkan diri sendiri.
”Kemarahan biasanya kita arahkan pada obyek di luar diri kita, yaitu ke orang lain, sementara menyalahkan diri sendiri adalah kemarahan yang diarahkan ke dalam, dan keduanya membawa penyakit di tubuh kita,” demikian penjelasannya. Apa saja manfaat memaafkan?
1. Hindarkan diri dari gangguan jantung
Hal ini telah dibuktikan dalam penelitian yang dilakukan oleh dr Robert Enright, PhD, Professor di bidang perkembangan manusia di University of Wisconsin, Madison, dan Tina Huang, PhD, Associate Professor bidang psikologi di National Chung Cheng University, Taiwan. Mereka menemukan bahwa semakin lama seseorang menyimpan kemarahan dalam hatinya, risiko untuk mengalami tekanan darah tinggi semakin meningkat.
Dalam sebuah penelitian, 71 subjek peneltian diminta untuk membayangkan sedang membuang semua keluh kesah dan omelan mereka; terlihat bahwa sistem kardiovaskular dan saraf para subjek penelitian berfungsi lebih baik, bahkan jelas terlihat berkurangnya ketegangan di otot wajah.
2. Kurangi sakit punggung
Sebuah penelitian berskala kecil terhadap beberapa pasien dengan sakit punggung bagian bawah yang kronis di Duke University Medical Centre menunjukkan bahwa rasa sakit yang dirasakan berkurang ketika mereka bisa lebih memaafkan.
Pengurangan rasa sakit ini makin terasa ketika para pasien sakit punggung kronis diminta untuk melakukan meditasi selama delapan minggu yang bertujuan untuk mengubah kemarahan menjadi rasa cinta.
3. Tingkatkan imunitas
Tak hanya menghindarkan diri dari gangguan jantung dan punggung, perilaku memaafkan bahkan meningkatkan imunitas tubuh. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Institute of HeartMath di Boulder Creek, subjek penelitian dihadapkan pada situasi yang menimbulkan kemarahan, frustrasi, dan kebencian selama lima menit. Ketika diukur, tingkat antibodi Ig A (immunoglobulin A) yang membantu tubuh melawan infeksi, ternyata menurun sangat signifikan. Efek negatif ini masih bertahan selama lebih dari 5 jam.
Sebaliknya, ketika diminta untuk mengingat dan memunculkan kembali perasaan cinta pada seseorang atau situasi yang menyenangkan selama 5 menit, ternyata kadar Ig A subjek penelitian langsung meningkat tajam.
4. Turunkan risiko kanker
Bahkan, penelitian yang dilakukan oleh O Carl Solomon, MD., Direktur Simon Cancer Counseling Center di California menunjukkan bahwa kecenderungan menyimpan dendam dan ketidakmampuan untuk memberikan maaf berhubungan dengan peningkatan risiko terkena kanker.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Toussaint, L., Owen A. D., dan Cheadle A., terhadap 1500 subjek penelitian, ditemukan bahwa memaafkan diri sendiri, memberi maaf tanpa syarat pada orang lain, dan merasa dimaafkan oleh orang lain ternyata berhubungan dengan angka kejadian kanker.
Khusus untuk perasaan dimaafkan oleh orang lain ternyata berhubungan dengan penurunan sekitar 50% dari munculnya kanker tiga tahun kemudian. Menurut penelitian ini, perasaan dimaafkan mengurangi stres yang dirasakan seseorang serta efek-efek negatif lain.
Kondisi ini pada akhrinya akan memberikan pengaruh pada sistem kimiawi saraf, endokrin, dan imunitas tubuh, yang semuanya berhubungan dengan perkembangan sel kanker. (SA)