Industri farmasi harus melakukan pemantauan farmako, pelaporan efek samping, dan melaporkan realisasi, infortasi, produksi serta distribusi vaksin selama persetujuan penggunaan darurat. Laporan tersebut harus disampaikan kepada Badan POM sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehatalami.co ~ Pemerintah sempat menargetkan pemberian vaksin Covid-19 di Indonesia, bisa mulai diberikan pada November 2020 ini. Tetapi hingga awal November 2020 ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan ( BPOM) menyatakan, bahwa dari 44 kandidat vaksin yang sudah menjalani uji klinis, bahkan uji klinis fase 3 belum ada yang diberikan izin edar atau Emergency Use Authorization (EUA).
Ddikutip dari kompas.com ( 29/10/2020), Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif Badan POM, Dra Togi J Hutadjujlu Apt MHA menyampaikan, belum dikeluarkannya izin edar (EUA) tersebut bukan tanpa alasan. Menurutnya hal itu karena Badan POM memiliki standar dalam perizinan untuk obat-obatan dan vaksin, yaitu harus melalui proses uji klinis sebagai pembuktian khasiat dan keamanannya.
“Sesuai dengan tugas dan fungsinya, sebagai pengawas obat dan makanan, Badan POM mengambil langkah strategis perihal vaksin Covid-19, dengan mengedepankan kepentingan kesehatan masyarakat,” kata Togi dalam diskusi daring bertajuk Pengawalan BPOM dalam Proses Penyediaan Vaksin Covid-19, Rabu (28/10/2020).
Tidak hanya itu, pemenuhan mutu produk melalui hasil evaluasi persyaratan mutu dan memastikan proses produksi vaksin sesuai dengan cara pembuatan obat yang baik (good maintenance practicise) juga harus terpenuhi. “Setelah proses evaluasi tersebut dilalui dan dianggap memenuhi syarat dari aspek keamanan, khasiat, dan mutu, maka barulah Badan POM akan memberikan perizinan penggunaan,” ujarnya.
Pengawalan dan monitoring BPOM dalam penyediaan vaksin di Indonesia Dipaparkan Togi, pengawalan mutu vaksin oleh Badan POM, tidak sesederhana mengawal dan mengawasi pemberian vaksin tersebut kepada pasien. Tetapi, pengawalan dilakukan dengan inspeksi cara pembuatan obat yang baik ke fasilitas produksi vaksin.
Selain itu juga melakukan pengujian di laboratorium pusat pengembangan pengujian obat dan makanan, untuk proses pelulusan bets/lot (batch/lot realease certificate) untuk setiap batch produksi vaksin, sebelum didistribusikan dan digunakan oleh masyarakat luas.
Sebagai informasi, sertifikat pelulusan bets/lot atau batch/lot release certificate ini adalah dokumen resmi yang mengizinkan produsen untuk mengeluarkan bets/lot tertentu, sebagai konfirmasi bahwa bets atau lot tersebut telah memenuhi spesifikasi dan persyaratan yang berlaku.
Togi melanjutkan, industri farmasi pemegang EUA wajib untuk melakukan studi atau uji klinik lanjutan terhadap vaksin yang sedang dalam penelitian uji klinik, untuk memastikan efektivitas dan keamanannya.
Selain itu, industri farmasi harus melakukan pemantauan farmako, pelaporan efek samping, dan melaporkan realisasi, infortasi, produksi serta distribusi vaksin selama persetujuan penggunaan darurat. Laporan tersebut harus disampaikan kepada Badan POM sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Badan POM juga akan mengawasi rantai distribusi untuk memastikan mutu vaksin, di mana vaksin membutuhkan penyimpanan khusus pada suhu antara 2-8 derajat celcius. Sehingga, manajemen rantai dingin merupakan hal yang krusial dilakukan untuk penjagaan mutu vaksin sampai ke penggunaan pada pasien.
Distribusi vaksin yang tidak sesuai dengan suhu yang dipersyaratkan akan menyebabkan kerusakan pada vaksin tersebut. “Setelah proses pemberian vaksin dilaksanakan, Badan POM juga akan melakukan pengawasan dari aspek keamanan melalui program kegiatan pemantauan efek samping,” jelasnya.
Dalam hal ini dibutuhkan bantuan dari tenaga kesehatan dan industri farmasi, untuk memantau dan melaporkan kejadian ikutan pasca pemberian imunisasi yang dialami oleh masyarakat setelah menerima vaksin. Apabila terjadi peningkatan frekuensi efek samping, Badan POM akan meninjau kembali khasiat dan keamanan vaksin dengan bukti-bukti baru yang ada.
Hasil pemantauan akan dikaji oleh para ahli dibidangnya dan juga para klinisi. Jika nanti risikonya lebih tinggi daripada manfaat vaksin berdasarkan hasil pemantauan tersebut, maka akan ditindaklanjuti dengan melakukan komunikasi risiko, bahkan juga ada kemungkinan pencabutan EUA. “Nah, ini dilakukan tentu dalam rangka meningkatkan kehati-hatian dalam penggunaan dan perlindungan masyarakat,” jelasnya. (SA)
(Sumber: Kompas.com).