Tanpa disadari, kata-kata kasar, perkelahian, caci makian, bahasa sarkatisme, dan berbagai kekerasan lainnya sudah menjadi pemandangan yang biasa di televisi. Bahkan acara anak pun tidak bersih dari adegan-adegan semacam itu. Apa akibatnya?
Sehatalami.co ~ Belum lama ini ramai diberitakan seorang bocan usia anak sekolah dasar di Bekasi, Jawa Barat menjadi korban bullying alias perundungan hingga harus dirawat di rumah sakit dan akhirnya meninggal.
Beberapa tahun yang lalu, Inggris gempar dengan tewasnya seorang balita akibat penganiayaan yang dilakukan 3 anak berusia 7-8 tahun. Alasan ketiga anak tersebut sangat sederhana, mereka ingin mencoba adegan yang telah mereka saksikan di televisi.
Lalu benarkah pendapat bahwa menonton kekerasan di televisi merupakan jalan keluar bagi dorongan agresif yang terpendam?
Bukan sahabat yang baik
Orangtua boleh tidak suka, tapi kenyataannya sebagian besar anak banyak menonton televisi. Bahkan sebagian dari mereka lebih banyak menghabiskan waktu di depan televisi daripada di sekolah!
Sudah banyak ahli pendidikan yang bersuara mengenai minimnya tayangan yang layak dikonsumsi anak, tapi tampaknya hal itu belum menjadi perhatian utama insan pertelevisian. Semakin banyaknya acara anak ternyata tidak didukung dengan kelayakan, dalam artian menghibur sekaligus mendidik.
Beberapa acara yang baik seperti animasi impor Blue’s Clues atau acara dalam negeri Tatitu memang mengajarkan anak untuk berpikir logis. Tapi kebanyakan acara justru mengajarkan kekerasan dan nilai-nilai kehidupan yang murahan.
Salah satu sinetron anak-anak yang ditayangkan pada hari Minggu misalnya, hanya karena ingin mengganti pemain, dimuatlah adegan penyiraman air keras ke muka pemeran utama. Lebih mengerikan lagi, pelakunya sama sekali bebas dari hukuman.
Lalu bagaimana siaran berita yang dulu menjadi tontonan wajib anak sekolah? Banyak orangtua yang menganggap sinetron, telenovela, dan film-film jagoan sebagai ‘perusak’ moral anak; tapi siaran berita yang diasosiasikan sebagai bentuk pendidikan, bebas dari tudingan tersebut.
Tahukah Anda bahwa siaran berita pun sebenarnya merupakan bentuk dari entertainment yang seringkali memberikan pandangan yang keliru dari kenyataan. (Ingat, di luar negeri Indonesia pernah mempunyai citra sebagai negeri yang mengerikan. Padahal di sini kita tetap merasa aman.)
Siaran berita pun salah satu panggung kekerasan. Jika dulu berita kriminal hanya dibacakan, kini ditayangkan kondisi fisik korban pembunuhan, penangkapan tersangka yang kerap diwarnai dengan tembak-menembak, bahkan juga rekonstruksi pembunuhan yang menunjukkan bagaimana pembunuhan dilakukan. Berita semacam itu, terkadang terselip di antara acara anak-anak!
Saya pernah mendapatkan pengalaman tidak enak berkaitan dengan penyelipan berita di antara acara anak-anak. Saat anak saya yang berumur 4 tahun sedang menyaksikan kartun, tiba-tiba muncul adegan demonstrasi mahasiswa yang diwarnai dengan keributan dengan aparat.
Tayangan itu dengan jelas menunjukkan aparat memukuli mahasiswa. Anak saya yang bercita-cita menjadi polisi langsung berteriak, ”Polisinya jahat! Orang cuma demo kok dipukuli sampai berdarah!” Cita-citanya pun berubah, ia tidak mau menjadi polisi lagi.
Dampaknya beragam
Ada pendapat bahwa tayangan kekerasan merupakan jalan keluar untuk menyalurkan dorongan agresi yang sifatnya bawaan. Pendapat itu mungkin dipengaruhi oleh teori Freud, tapi kenyataan menunjukkan hal yang berbeda.
Untuk membuktikannya, beberapa penelitian di Amerika Serikat melaporkan bahwa anak yang menonton film kekerasan menjadi lebih agresif daripada anak yang hanya menonton film kartun tanpa kekerasan.
Sebuah penelitian jangka panjang yang melibatkan 800 anak laki-laki usia 8-9 tahun menunjukkan, anak yang mempunyai kebiasaan menyaksikan acara yang mengandung kekerasan lebih agresif daripada anak yang menyaksikan sedikit acara kekerasan.
Setelah 10 tahun – anak-anak yang menjadi objek penelitian sudah berusia 18-19 tahun – anak yang lebih agresif di masa kanak-kanak ternyata semakin bertingkah laku agresif sehingga sebagian dari mereka mempunyai catatan kriminal.
Lalu bagaimana dengan anak perempuan? Bersyukurlah karena anak perempuan sejak kecil biasanya telah dikondisikan untuk bertingkah laku tidak agresif. Tapi dengan semakin banyaknya jagoan perempuan dalam tayangan anak, kesimpulan penelitian semacam itu pasti segera berubah. Hal lain yang mungkin muncul dari tayangan kekerasan di televisi adalah rasa takut.
Agar dampak buruk tidak berkelanjutan
Perlukah orangtua melakukan penyensoran terhadap acara televisi yang ditotonton anak-anak? Tentu saja perlu. Sebagaimana makan, menonton televisi pun memerlukan ‘diet’. Sebelum memperbolehkan anak menyaksikan suatu acara, orangtua sebaiknya telah menetapkan aturannya.
Diet televisi tidak saja dapat melindungi anak dari tayangan yang berpotensi memiliki dampak negatif, tapi juga mempengaruhi selera anak. Lebih baik lagi jika Anda mendampingi anak setiap kali menonton televisi.
Bagaimana jika tayangan televisi sudah telanjur mempengaruhi tingkah laku anak? Anak yang manis tiba-tiba menjadi kasar atau anak pemberani tiba-tiba berubah menjadi cengeng?
Kebanyakan orangtua biasanya gusar jika anaknya menjadi agresif, suka memukul atau berkata buruk. Jika hal itu terjadi, selain mengurangi waktu menonton televisi dan menggantinya dengan kegiatan yang tidak merangsang agresivitas seperti berenang, anak perlu terapi hadiah dan hukuman (reward and punishment).
Berilah hukuman yang berarti, seperti pemotongan uang saku setiap kali anak melakukan kekerasan; dan berikan hadiah mainan, buku, atau makanan kecil yang disukai jika dalam waktu tertentu ia tidak bertindak agresif.
Membatasi waktu menonton televisi juga perlu diterapkan pada anak yang menjadi takut. Tapi selain itu, Anda harus selalu siap dengan berbagai penjelasan. Akan lebih mudah menjelaskan hal yang dilihat jika anak sudah berusia 7 tahun.
Dengan pelukan dan mengkomunikasikan perasaannya, anak biasanya sudah bisa tenang. Tapi menjelaskan pada anak yang masih kecil adalah suatu tantangan. Memberi pengertian pada anak bahwa kisah Harry Potter hanyalah khayalan dan dia hanya pura-pura diserang oleh troll (sejanis makhluk sihir) cukup menyulitkan.
Apalagi jika harus menjelaskan bahwa pembunuh sadis Sumanto itu sudah ditangkap (ia pasti akan bertanya, ”Kalau lepas bagaimana?”) dan tempatnya jauh dari tempat tinggal Anda (ia mungkin akan bertanya, ”Dia ‘kan bisa naik bis.”). Kesabaran Anda dalam hal ini sangat dibutuhkan. (SA)