“Akankah ada ciuman mesra dengan mata terpejam di hari ulang tahun kita? Sungguh, momen seperti ini tak ternilai dibanding apa pun,” kata Gede Prama.
Sehatalami.co ~ Ciuman dengan Mata Terpejam. Pernahkah Anda di hari ulang tahun pernikahan merayakannya dengan sebuah ciuman dengan mata terpejam? Katakanlah, hal tersebut sebagai sebuah ekspresi cinta sepasang suami dan istri. Tidakah ada efek sehat dan bahagianya?
Bernie Siegel, seorang dokter bedah yang bermukim dan berpraktik di Amerika rupanya tidak hanya bisa mengoperasi pasien, ia juga menghasilkan buku klasik yang berjudul Love, Medicine, and Miracle. Serupa dengan Krishan Chopra dan Deepak Chopra yang mendalami cinta sebagai serangkaian kekuatan, Bernie Siegel juga memfokuskan penglihatan pada segi-segi cinta sebagai kekuatan penyembuh.
Sebagai bagian dari upaya meyakinkan publik tentang cinta sebagai kekuatan, Bernie Siegel mengemukakan banyak bukti. Salah satu buktinya adalah penelitian kecil di sebuah kota kecil di Prancis.
Sekelompok suami yang bepergian ke kantor dengan mengendarai mobil di bagi dalam dua kelompok: yang dicium pipinya oleh sang isteri sebelum berangkat ke kantor, serta kelompok suami yang tidak pernah dicium sebelum berangkat ke kantor.
Setelah beberapa periode lewat, ternyata kelompok suami yang diciumi istrinya sebelum berangkat ke kantor memiliki resiko kecelakaan mobil yang lebih kecil dibandingkan yang tidak pernah diciumi istrinya. Bukti Siegel yang lain, kelompok anak orang utan yang disusui oleh ibunya di hutan yang kotor dan tidak steril, ternyata daya tahan tubuhnya lebih baik dibandingkan kelompok orang utan yang dipelihara manusia di laboratorium yang steril.
Boleh saja orang meragukan hasil penelitian ini, namun ciuman, pelukan, dan belaian (secara langsung maupun tidak langsung) memberikan pengaruh terhadap kualitas hubungan manusia. Seorang anak misalnya, bisa saja tidak merasakan apa-apa ketika dicium oleh mamanya, tetapi frekuensi ciuman pipi yang seringkali dialami anak, mungkin sekali meninggalkan kenangan panjang pada sang anak. Untuk kemudian tidak saja merajut kenangan, tetapi juga membuat kualitas hidup sang anak penuh dengan warna cinta kemudian.
Wanita berciuman dengan memejamkan mata
Saya punya rajutan-rajutan kenangan bersama almarhumah Ibu. Dulu, ketika Ibu masih sehat dan segar, dan berkunjung ke Jakarta, ada sebuah perilaku yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sebagai orang desa yang pergaulan terbatas, Ibu tidak pernah terlihat mencium puteranya yang sudah besar. Namun, dalam perpisahan mau pulang kembali ke kampung, tiba-tiba Ibu memeluk saya dan mencium pipi. Ketika itu, yang ada hanyalah rasa kaget sebentar karena merasa Ibu berperilaku ‘lain’.
Sekian tahun setelah semua itu berlalu, dan kami dipisahkan oleh kematian, tempat, dan waktu, ekspresi wajah Ibu ketika mencium saya, masih teringat jelas. Lebih dari sekadar dihubungkan oleh untaian daun-daun memori, ciuman Ibu juga seperti magnet yang membuat hidup ini terasa lebih berjiwa dan berenergi. Ada tarikan-tarikan cinta yang membuat matahari kehidupan seperti tersenyum selalu.
Ada memang rekan yang senantiasa mengingat ciuman wanita pacarnya. Namun, saya tak pernah melupakan ekspresi Ibu – yang sama dengan sejumlah wanita lainnya – ketika sambil memejamkan mata mencium pipi putera bungsunya. Ini sejenis ciuman yang amat khusus, tidak sekadar terbayang-bayang, tetapi menghadirkan keingintahuan, “Kenapa banyak wanita memejamkan mata ketika melakukan ciuman?”
Lama saya sempat mencari jawabannya. Entah kebetulan atau tidak, dalam sebuah kerinduan yang mendalam kepada almarhumah Ibu, tiba-tiba seorang sahabat mengirim SMS: ‘wanita memejamkan mata ketika berciuman, karena sadar sedalam-dalamnya kalau keindahan di dalam sini jauh lebih meneduhkan dibandingkan dengan keindahan di luar’.
Saya tidak tahu, imajinasi apa yang ada dalam diri Ibu ketika mencium puteranya sambil memejamkan mata. Tetapi tarikan-tarikan magnet kehidupan yang dihadirkan kemudian, membawa saya pada keyakinan: kehidupan hening di dalam sini juga bisa tersambung rapi dengan kehidupan hening orang-orang yang kita cintai. Bahkan, dalam rentang waktu yang demikian lama dan panjang, atau malah ketika samudera kematian sudah memisahkan kita dengan orang-orang tercinta.
Ini mungkin yang disebut Edward Deming di akhir hayatnya – sebagaimana dikutip seorang penulis dalam The New Paradigm of Leadership – bahwa kualitas kepemimpinan lebih terkait pada aspek tidak terlihat dibandingkan dengan aspek yang terlihat.
Deming yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mempelajari kualitas melalui sarana-sarana terlihat yang bernama statistik, ternyata mengakhiri hidupnya dengan kesadaran yang dalam akan the unseen quality.
Serangkaian kualitas yang tidak terlihat, tetapi tersambung rapi melalui gelombang-gelombang nurani yang menyentuh hati. Ini tidak saja terjadi antara saya dengan almarhumah Ibu, tetapi juga pada Gandhi dan pengikutnya, Ibu Theresa dan suster-susternya, Lady Diana dan pencintanya, antara John Lennon dengan penggemarnya, Matsushita dengan karyawannya, Pak Hatta dengan Indonesia, atau Jack Welch dengan General Electric.
Dalam sinar-sinar kejernihan seperti ini, lebih-lebih di tengah petaka banyak skandal korporasi seperti Enron, Worldcom, Merck dan sejenisnya yang merendahkan kehidupan ke dalam angka-angka neraca, rugi laba yang kering tanpa jiwa, tiba-tiba saya diingatkan oleh ciuman Ibu lengkap dengan pejaman matanya. Dan kemudian berbisik, angka-angka di luar memang membantu.
Tetapi ada rangkaian rasa di dalam sini yang menghubungkan kita dengan orang-orang tercinta. Serta pada akhirnya membawa sang hidup ke dalam bentangan imajinasi yang tinggi. Meminjam argumen Shakti Gawain dalam Creating True Prosperity: ‘While prosperity is in some ways related to money, it is not caused by money’.
Akankah ada ciuman mesra dengan mata terpejam di hari ulang tahun kita? Sebuah momen yang tak ternilai dibandingkan apa pun, apalagi uang. Momen saat keindahan di dalam sini meneduhkan dan bertahan untuk selamanya. Akankah kita menghadiahkan ciuman terbaik kita kepada orang yang kita kasihi juga dengan mata terpejam? (SA)
Sumber: Gede Prama, pencinta kejernihan yang bertapa di Bali, penulis 21 buku dan 4 audiobook.