Sementara itu, perbandingan total pemakaian MSG berdasarkan bahan yang digunakan menunjukkan seluruh responden memakai MSG melebihi dari batas aman yang dianjurkan. Menurut Nina, penggunaan MSG berhubungan dengan pengetahuan dan motivasi pedagang bakso dalam menjual produknya.
Kendalinya di tangan kita sendiri
Hardin berpendapat, menanggapi kontroversi MSG sebenarnya simpel. Jika memang sensitif atau alergi terhadap MSG, sebaiknya tak perlu mengonsumsi. Kalaupun tidak sensitif dan ingin mengonsumsi, juga tak perlu berlebihan. Lagipula, tubuh kita sudah mampu membatasi secara otomatis melalui reseptor pengecapan yang ada di lidah. Kalau jumlah MSG yang ditambahkan sudah berlebihan, rasanya jadi tidak enak.
Apalagi sejatinya lidah kita mampu mengenali kelebihan MSG dalam makanan. Selain tidak enak, biasanya juga ada rasa getir di lidah. Sayangnya, bagi orang yang sudah terbiasa mengonsumsi MSG, ambang batas “berlebihan” tadi bisa lebih kabur, karena lidahnya seolah lebih “kebal”.
Akhirnya, tidak adanya standar baku mengenai batas konsumsi MSG ini menantang kita untuk lihai dan lebih peka dalam mencermati reaksi tubuh sendiri.
Karenyanya, jika ingin aman dan minim risiko, pilihan terbaik memang mengonsumsi glutamat dari bahan makanan sesuai wujud aslinya dari alam. Kita bisa mengoptimalkan cita rasa umami dengan menggunakan bahan-bahan yang berkualitas dan cara memasak yang tepat. Dengan demikian, masakan akan tetap lezat, gurihnya tetap nendang, dan kita tidak perlu risau dengan MSG, apapun statusnya. (SA)