Sebagian panca indera kita juga turut berkontribusi dalam kebiasaan makan yang keliru. Bagaimana tidak? Tekstur dan aroma makanan yang sedap saja, bias membuat kita tergoda untuk mencicipinya.
Dalam bukunya, Mindless Eating, Dr Bryan juga memaparkan bahwa perut manusia tidak cukup sensitif untuk memberi sinyal adanya perbedaan kalori yang telah diasup tubuh, apalagi mampu menandai kecukupan kalori dari makanan yang sudah mulut kunyah atau telan. Dijelaskan dalam penelitiannya, bahwa banyak individu cenderung baru mau berhenti makan saat hidangan diatas piring sudah kosong.
Dalam penelitiannya, Dr Bryan merancang mangkok yang secara otomatis dapat mengisi ulang sup sendiri. Dari 68 responden yang berpartisipasi, rata-rata 71 persen responden yang mengkonsumsi sup dengan mangkuk otomatis, lebih banyak dari pada yang menggunakan mangkuk biasa. Saat ditanya apakah mereka merasa kenyang? Tanggapan umum yang didapat adalah, “Bagaimana saya bisa kenyang, selalu masih ada sup yang tersisa?”
Karenanya, seperti juga saya, Anda pun tidak dapat sepenuhnya hanya mengandalkan mata, telinga, dan hidung untuk memberi isyarat kapan harus berhenti makan. Sebab, meski ada hormon ghrelin yang bekerja memicu rasa lapar, dan leptin yang mengirim sinyal kenyang ke otak dalam jangka waktu tertentu, tetapi belum tentu dapat bekerja secara teratur.
Karena kerja hormone leptin bias tidak optimal (leptin resistance), sehingga secara tidak sadar Anda akan terdorong untuk terus menerus mengkonsumsi makanan, karena otak menganggap tubuh masih membutuhkan makanan.
Faktor Televisi Dalam Kebiasaan Makan
Hal lain yang bias mempengaruhi terjadinya mindless eating adalah kebiasaan makan sambil menonton televisi. Sebanyak 40 persen orang yang makan sambil asyik menonton acara televisi, tidak memperhatikan makanan yang sedang dimakan. Saat acara televisi berakhir, berakhir pula waktu makannya. Dijelaskan bahwa menonton acara program televise yang membahas mengenai makanan lebih banyak meningkatkan asupan makanan daripada menonton program televisi biasa.
Baca juga : Mindless Eating : Awas Jebakan Kebiasaan Makan Berlebih
Dalam journal Marketing Research tahun 2006 oleh Pierre Chandon dan dr, Brian Wansink, juga diungkapkan bahwa produk makan berlabel “rendah kalori” atau“rendah lemak” bisa menjebak individu dalam kebiasaan makan yang salah. Sebanyak 269 responden dengan status gizi berat badan berlebih dan normal diberikan coklat M&Ms yang berlabel rendah lemak dan reguler (tidak rendah lemak).
Hasilnya, sebanyak 28.4 persen coklat M&Ms rendah lemak lebih banyak dikonsumsi dari yang berlabel reguler. Responden dengan berat badan berlebih, ternyata lebih banyak mengkonsumsi M&Ms rendah lemak (16.7%) daripada yang berstatus gizi normal. Ini mendukung hipotesa yang mengklaim bahwa individu dengan kelebihan berat badan cenderung mengkonsumsi lebih banyak dari pada orang yang berat badan normal saat makanan tersebut dilabeli “rendah lemak”.
Kemasan makanan dengan label “rendah lemak” membuat orang percayadan makan secara berlebihan tanpa memikirkan jumlah yang telah dimakan. Dari sinilah persepsi salah tentang pola konsumsi makanan sering terjadi. (SA)