Penyelesaikan konflik yang salah, justru bisa memperkeruh masalah. Hindari!
Siapa di antara Anda yang tak pernah terlibat konflik dengan orang lain? Kemungkinan besar tidak ada. Setiap kita berinteraksi dengan orang lain, di situ ada kemungkinan terjadinya konflik. Konflik dalam keluarga, dalam kehidupan bertetangga, konflik di tempat kerja, bahkan konflik dengan orang-orang yang tidak kita kenal, yang baru kita jumpai saat itu juga.
Konflik memang tak mungkin bisa dihindari, selama masih ada manusia di bumi ini. Sebab, kita hidup bersama orang lain, yang memiliki budaya, bahasa, simbol dan bahkan bahasa tubuh yang berbeda, ditambah lagi dengan keragaman cara pandang, cara berpikir, merasa dan melihat aneka kejadian atau peristiwa sehari-hari.
Perbedaan-perbedaan inilah yang umumnya memicu munculnya konflik.
Masalah selesai, relasi harmonis
Konflik tentu saja harus diselesaikan dengan baik, agar akar persoalannya bisa ditemukan, masalahnya selesai, tujuan yang bermanfaat untuk semua pihak tercapai, sekaligus agar relasi kita dengan orang lain kembali terjalin baik. Tetap menjaga ketenangan hati agar konflik tak semakin panas, mencoba fokus kepada fakta, dan mencoba mendengarkan pendapat orang lain tanpa berprasangka adalah beberapa cara yang bisa kita gunakan saat menghadapi konflik.
Dibutuhkan hati dan pikiran yang terbuka, yang siap menerima sudut pandang yang berbeda dari pihak lain, lalu membandingkannya dengan sudut pandang diri kita sendiri, untuk bisa mengatasi konlflik dengan baik, tanpa keinginan untuk selalu benar atau selalu menang, dan berusaha menemukan jalan tengah yang bisa mengakomodasi kebutuhan dan keinginan kedua belah pihak.
Hindari ini!
Namun, tanpa sadar, kita juga seringkali menggunakan beberapa cara yang justru bisa memperkeruh suasana. Cara-cara pengelolaan konflik yang tak bijaksana ini, sebaiknya Anda hindari:
1. Menghindari konflik.
Bukannya mendiskusikan masalah dengan tenang dan sikap saling menghargai, beberapa di antara kita seringkali memilih untuk tidak mengatakan apapun, menyimpan semuanya dalam hati. Tapi harus diingat, ketegangan, stres dan emosi yang disimpan itu bisa terus meningkat hingga saatnya “meledak” nanti. Masalahnya, ledakan itu biasanya disertai dengan kemarahan, dan kata-kata kasar yang mungkin akan menyakitkan bagi pihak lain.
Memang, menghindari adu argumentasi atau berhadapan muka dengan orang lain yang sedang berkonflik dengan kita, tampaknya adalah pilihan yang menyenangkan dan tanpa masalah, tapi, jauh lebih sehat jika Anda menghadapi konflik dan menyelesaikannya.
2. Bersikap defensif
Elizabeth Scott dalam tulisannya yang berjudul Conflict Resolution Mistakes To Avoid mengatakan, “Orang yang defensif terus saja menyangkal telah melakukan tindakan yang salah, dan selalu menolak untuk melihat kemungkinan bahwa mereka telah berkontribusi pada masalah yang menyebabkan konflik itu.”
Menolak bertanggung jawab kelihatannya memang bisa mengurangi ketegangan dalam menghadapi sebuah konflik, dalam jangka waktu pendek, tapi ini justru bisa menimbulkan masalah dalam jangka panjang.
Karenanya, menurut Scott, agar konflik bisa selesai, kita perlu juga mendengarkan keluhan pihak lain secara obyektif, disertai kemauan untuk memahami bagaimana pihak lain melihat masalah ini dari sudut pandangnya.
3. Terlalu menggeneralisasi
Hindari kata-kata seperti, “Kau selalu…!” atau, “Kau tidak pernah….!”. Inilah yang disebut sebagai terlalu menggeneralisasi. Misalnya, ketika anak kita yang sudah remaja pulang terlambat di suatu malam, tanpa memberi kabar sebelumnya, lalu kita mengatakan padanya, “Kamu selalu pulang larut malam!”. Tentu ini berlebihan, karena hari-hari sebelumnya, mungkin dia tidak selalu pulang larut malam. Kata-kata yang terlalu menggeneralisasi semacam ini justru bisa memperburuk konflik.
Scott menyarankan, sebelum Anda mengucapkannya, cobalah hentikan dan pertimbangkan baik-baik, apakah yang akan Anda katakan itu sungguh benar. selain itu, jangan biarkan konflik-konflik di masa lalu, yang sudah lewat, Anda masukkan juga dalam diskusi sekarang ini, yang membuat pihak lain terlihat semakin negatif.
4. Ada yang benar ada yang salah
Kita memang sudah terbiasa berpikir bahwa di setiap kesempatan ada cara berpikir yang benar dan ada cara berpikir yang salah, ada tindakan yang benar dan ada tindakan yang salah. Ada opini yang benar dan ada opini yang salah, dan sebagainya.
Dan dalam sebuah konflik, umumnya kita beranggapan bahwa sudut pandang kitalah yang benar. “Ingatlah, tidak selalu ada yang ‘benar’ dan yang ‘salah’. Bisa jadi, kedua sudut pandang itu cukup valid, dengan caranya masing-masing,” tegas Scott. Karenanya, ia melarang kita untuk meminta semua orang berpikir seperti cara kita berpikir, atau bertindak seperti cara kita bertindak, yang kita anggap benar, dan kemudian ‘menyerang’ orang lain yang tak sepaham dengan kita.
5. Menyatakan opini sebagai fakta
Tanpa sadar, kita seringkali mengungkapkan opini kita sebagai sebuah fakta. Misalnya dengan menambahkan kalimat penekanan, “….Saya rasa semua orang punya pikiran yang sama dengan pendapat saya ini.” Atau “… itu masalah sebenarnya.”
Padahal, setiap orang punya sudut pandangnya masing-masing dan setiap sudut pandang itu perlu didengar. Karenanya diskusi dalam penyelesaian sebuah konflik tak akan pernah menghasilkan kata sepakat jika masing-masing pihak bertahan dengan sudut pandangnya, dan menyatakan bahwa opini mereka itu adalah kenyataan.
“Jika kau ingin memenangkan sebuah adu argumentasi, nyatakan opini Anda sebagai sebuah fakta. Tapi, jika Anda ingin menyelesaikan konflik, pertimbangkan dengan baik di mana posisi Anda. Mana yang didasarkan oleh fakta yang sebenarnya, dan mana yang hanya sekadar opini Anda.” kata Guy Harris dalam artikelnya yang berjudul Conflict Resolution Mistakes.
Scott menambahkan, ketika kita fokus pada ‘memenangkan’ argument, maka hubungan baik kita dengan orang lain otomatis akan kalah. Karenanya, dalam diskusi penyelesaian konflik, diperlukan kesediaan untuk saling memahami untuk mencapai kesepakatan yang juga menghargai keinginan semua orang. (SA)