Perlu sistem yang baik
Ekusli Goestiandi mengatakan, etos kerja yang tinggi adalah bagian dari budaya dan merupakan produk dari sistem yang baik. Lebih jauh ia menjelaskan bahwa etos kerja dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, dan sistem nilai yang diyakini oleh individu.
Itu maka, orang dengan etos kerja tinggi, ia akan bekerja sebagai sesuatu yang menyenangkan, dan bukan sebagai beban. “Sebab orang dengan etos kerja tinggi, akan mencitai tugasnya sebagai suatu nilai yang sesuai dengan prinsip yang diyakini dan sesuai dengan kemampuan atau bidangnya,” jelasnya.
Lalu apakah etos kerja sebagai sebuah budaya dapat dibentuk? Menjawab pertanyaan ini, Ekusli mencontohkah, etos kerja bangsa Singapore yang begitu tinggi. Menurutnya, etos kerja tinggi, memang tidak bisa secara langsung dibentuk, namun jika ada suatu sistem yang memungkinkan orang dapat bekerja dengan keras, tekun, disiplin tinggi, maka dengan sendirinya dapat membantu menciptakan suatu kebiasaan, yang pada akhirnya dapat menjadi sebuah budaya.
“Mengapa bangsa Singapore dikenal sebgai bangsa yang memiliki disiplin dan tertib yang tinggi, serta etos kerja yang baik, tidak lain karena mereka memiliki sistem yang mengkondisikan orang untuk berlaku tertip, disiplin, dan beretos kerja tinggi. Karenanya, jika kita ingin menciptakan orang beretos kerja tinggi, kita juga harus membuat sistem yang bisa mendukung orang beretos kerja tinggi, “ ujar Ekusli.
Contoh sederhananya adalah idiologi meritokrasi yang dianut oleh bangsa Singapore. Dengan idiologi dan system meritokrasi di semua lini ini, setiap orang dinilai berdasarkan kapasitas, etos kerja, dan hasil kerjanya. Bukan berdasarkan, suku, ras, agama, dan latar budayanya. Juga tidak berdasarkan like and dislike. Sistem kesamaan di depan hukum dan menilai orang dari hasil kinerjanya, inilah yang pada gilirannya dapat melahirkan etos kerja yang baik,” papar Ekusli.
Perlu konsistensi dan butuh waktu
Memang tidak mudah membangun sumber daya manusia (SDM) beretos kerja tinggi. Tidak semudah membalikkan telapak tangan. “Lee Kuan Yew (1923 – 2015), yang dikenal sebagai Bapak Bangsa Singapore saja membutuhkan waktu 40 tahun untuk menjadikan orang Singapore berbicara dalam bahasa yang sama, etos sama, budaya sama, sikap yang sama, sehingga Singapore dikenal sebagai bangsa yang paling tertip, disiplin, maju, modern.”
Mengambil contoh bagaimana Astra membangun SDM dengan etos kerja tinggi, Ekusli menyebutkan bahwa dibutuhkan stamina yang panjang untuk memastikan sistem yang dibangun dapat berjalan dengan baik.
Di Astra dari sejak awal rekrutment karyawan hal pertama yang dilakukan adalah memastikan bahwa kualitas keperibadian dan nilai-nilai yang dimiliki oleh seorang calon karyawan sesuai dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh Astra. “Kalau saya bicara kreteria insan Astra, pertama dia harus memiliki visi bisnis, kedua, memilili kompetensi sesuai dengan kreteria kompetensi model Astra. Ketiga, dia memiliki karakter yang sesuai dengan kreteria dan filosofi atau nilai-nilai catur dharma Astra,” kata Ekusli.
Beberapa nilai-nilai dari catur dharma Astra tersebut antara lain adalah, menjadi milik yang bermanfaat untuk bangsa. Memberikan pelayanan terbaik kepada konsumen. Respek terhadap individual dan membangun kerja sama. Berjuang untuk mendapatkan yang terbaik sesuai budaya etos keunggulan. Mampu melakukan analisis dan mengambil kesimpulan. Memiliki motivasi kuat, keberanian, dan integritas.
Di Astra, ujarnya mungkin sistem yang dibangun bukan sesuatu yang super canggih, melebihi sistem yang dimiliki oleh organisasi atau perusahaan lain, yang membedakan hanyalah daya tahan yang Astra miliki untuk mengimplementasikan sistem secara terus menurus, jangka panjang, dan berkelanjutan. “Sebab yang sering terjadi adalah saat sistem baru diaplikasikan, belum ketahuan hasilnya, belum dievaluasi secara benar, sudah diganti dengan sistem baru lagi.”
Satu hal yang prinsip dalam mengimplementasikan sistem adalah adanya reward and punishment. Untuk mereka yang memiliki komitmen menjalani system dengan baik akan mendapat reward dan sebaliknya, bagi yang melanggar ada hukuman atau punishment yang diberikan. “Ini dapat membantu menciptakan iklim kerja yang lebih adil, sehingga memacu kreativitas dan etos kerja tinggi setiap karyawan,” ujar Ekusli.
Selanjutnya untuk memelihara etos kerja yang tinggi, edukasi tentang visi, misi, filosofi dan nilai-nilai perusahaan sangatlah penting. Program-program pelatihan juga sangat diperlukan untuk meningkatkan kompetensi setiap karyawan dan membangun karakter sesuai dengan nilai-nilai perusahaan.
Menurut DR Achmad S. Ruky, untuk menghindari munculnya dead beat employees – karyawan dengan semangat dan etos kerja rendah, pertama yang perlu dilakukan adalah menghindari salah pilih dan penempatan ( sistem rekrutmen dan penempatan dilakukan dengan baik), cermat dalam menetapkan dan menyusun kreteria ( profil kompetensi) SDM yang dibutuhkan saat ini dan masa yang akan datang, dan kemudian membuat suatu sistem sesuai standar HR Management untuk membantu setiap karyawan dapat mengembangkan potensi dimiliki dapat berkembang dengan baik.
Dengan cara ini, setiap karyawan dapat merasakan adanya jaminan masa depan yang lebih baik, sehingga etos kerja dapat terpelihara, sehingga membantu meningkatkan performance management secara keseluruhan. (AKH, artikel penah dimuat di majalah Intipesan).