- Segala sesuatu yang kita hubungkan dengan kesempurnaan, sesungguhnya bertentangan dengan kondisi psikologis yang sehat, seperti penerimaan diri, keihklasan, dan kebahagiaan.
- Benarkah kondisi yang berantakan dalam kadar tertentu (misalnya dalam rangka trial and error) sebenarnya bisa mengembangkan produktivitas, kreativitas, dan kualitas hidup.
Sehatalami.co ~ Apakah hidup harus sempurna? Begitulah idealisme kebanyakan orang. Dalam setiap hal yang dilakukan, semuanya ingin bisa berjalan dengan sempurna, sesuai rencana, dan mendapatkan semua yang kita inginkan. Itu wajar dan terjadi pada semua orang.
”Kita hidup dalam masyarakat yang mengistimewakan kesempurnaan,” kata Edward Chang, Associate Professor dalam bidang psikologi klinis di University of Michigan. Dalam kehidupan sehari-hari, kita memberikan tepuk tangan meriah pada mereka yang berusaha keras dan sukses mencapai prestasi puncak, di bidang olahraga, akademis, maupun pekerjaan.
Dengan latar belakang ini, tak bisa disalahkan jika kita semua mengidamkan rumah yang indah, pernikahan yang bahagia, pekerjaan yang menghasilkan uang banyak dan pangkat tinggi yang bergengsi, mobil mewah, pendidikan paling tinggi, dan sebagainya.
Kesempurnaan tak selalu baik
Tapi kenyataannya, mengejar kesempurnaan tak selalu berarti positif. Gina Ogden, PhD, penulis buku The Return of Desire: a Guide to Rediscovering Your Sexual Passion, mengatakan segala sesuatu yang kita hubungkan dengan kesempurnaan, seperti kebutuhan untuk diterima semua orang atau kebutuhan untuk mengontrol segala hal, sesungguhnya bertentangan dengan kondisi psikologis yang sehat, seperti penerimaan diri, keihklasan, dan kebahagiaan.
Penelitian yang dilakukan oleh York University terhadap 87 orang aktor, penari, dan musisi menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat perfeksionisme mereka, maka semakin tinggi pula kecemasan yang mereka rasakan. Hasil yang sama diperoleh dalam penelitian terhadap lebih dari 500 orang di University of Michigan, yang menemukan bahwa perfeksionisme berhubungan erat dengan penurunan tingkat kepuasan hidup, juga dengan kecemasan dan stres.
Kebaikan di balik ketidaksempurnaan
Sebaliknya, dalam penelitian yang dilakukan di PsyMax Solution, sebuah perusahaan yang berbasis di Cleveland, Amerika Serikat, ditemukan bahwa para CEO (Chief Executive Officer) yang mendapat skor kreativitas di atas rata-rata ternyata adalah mereka yang justru cara bekerjanya tidak terlalu rapi/teratur dibandingkan CEO yang lain.
Bahkan, penelitian lain menyebutkan bahwa 66% dari kelompok orang yang penghasilannya kurang dari 35.000 dolar Amerika per tahun menganggap dirinya sangat suka kerapian. Sementara pada kelompok lain yang penghasilan per tahunnya lebih dari 75.000 dolar Amerika, hanya 11% yang mengaku sangat menyukai kerapian. (bersambung).