- Memberikan pilihan bukan berarti memberikan jaminan bahagia. Anak terkadang memilih untuk tidak bahagia, sehingga ia kecewa, marah, frustrasi, atau sedih. Namun itu bukan masalah, karena semua perasaan tersebut merupakan langkah menuju ke kebahagiaan.
- Daripada anak kehilangan kebahagiaan hanya karena ada sesuatu yang tidak beres, misalnya karena merasa gagal dalam satu hal, lebih baik kita mengembangkan berbagai minatnya sejak dini, sehingga ia masih bisa mendapatkan kebahagiaan dari bakat dan minat yang lain.
Sehatalami.co ~ Sebagian orang memang patut bersyukur karena terlahir sebagai pribadi yang mempunyai watak (sifat yang sudah ada sejak lahir) ceria dan tidak mudah terganggu. Walaupun demikian, bukan berarti anak yang memiliki watak berbeda tidak mempunyai kesempatan berbahagia untuk selamanya. Untuk menumbuhkan karakter bahagia, ada sejumlah saran yang perlu menjadi perhatian untuk kita lakukan, yaitu:
1. Bina hubungan yang hangat
Kembali Nella mengajukan contoh, pada masa Perang Dunia II, para peneliti di Eropa dikejutkan oleh tingkat kematian bayi yatim piatu di rumah sakit milik AS lebih tinggi daripada bayi yatim piatu yang dititipkan di rumah-rumah penduduk.
Padahal, rumah sakit selalu memberikan makanan bergizi, obat-obatan yang cukup, perawat-perawat terlatih, dan lingkungan yang higienis bagi bayi-bayi malang tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi rumah penduduk pada zaman perang tersebut. Selain makanan terbatas, kebanyakan penduduk pada masa itu kurang memiliki perhatian terhadap kesehatan.
Ternyata yang membuat bayi-bayi tersebut bertahan bukan sekadar tempat berlindung yang baik serta gizi yang cukup. Namun hubungan hangat dengan pengasuh dan lingkungan pun sangat berperan. Adanya hubungan yang didasari kasih sayang dan diwujudkan dalam bentuk sentuhan dan pelukan, merupakan ’makanan bergizi’ yang memberikan dasar karakter bahagia pada anak-anak titipan di rumah-rumah penduduk, agar lebih mampu bertahan hidup.
Oleh karena itu, selain mengenal kita, biasakan anak untuk mengenal dan membina hubungan dengan orang lain, misalnya dengan pengasuh, nenek, kakek, paman, bibi. Setelah ia mulai besar, kita bisa mengajarinya untuk berteman, misalnya dengan mengajaknya ke rumah teman yang memiliki anak kecil. Semakin banyak hubungan hangat yang terbina, maka anak akan merasa semakin aman dan bahagia.
2. Memberi pilihan pada anak
Bahagia berkaitan dengan rasa puas terhadap diri sendiri dan lingkungan. Jadi, jelas bahwa rasa puas harus berasal dari diri sendiri, dan itu berarti anak kita harus mampu mengendalikan kehidupannya.
Memberikan kesempatan pada anak untuk memilih, berarti memberi kesempatan pada anak untuk mengendalikan kehidupannya. Untuk anak yang baru bisa berjalan, misalnya, bisa diberikan kesempatan untuk memilih pakaian atau sepatu yang akan ia kenakan.
Anak usia 2 tahun sudah bisa dibiarkan memilih makanan yang disiapkan di meja makan. Dan anak usia 8 tahun sudah bisa memutuskan untuk apa uang yang dimilikinya. Pada tahap ini anak belajar membuat pilihan yang mempengaruhi perasaannya.
Memberikan pilihan bukan berarti memberikan jaminan bahagia. Anak terkadang memilih untuk tidak bahagia, sehingga ia kecewa, marah, frustrasi, atau sedih. Namun itu bukan masalah, karena semua perasaan tersebut merupakan langkah menuju ke kebahagiaan.
Karena bagaimana mungkin seseorang bisa merasakan bahagia jika ia tidak pernah merasa sedih, frutrasi, marah, atau kecewa? Setiap orang mempunyai alasan untuk tidak bahagia, yang penting anak belajar membentuk reaksi jika menghadapi masalah. Karena dalam hal ini anak bertanggung jawab terhadap kebahagiaannya sendiri.
3. Memberikan hanya yang dibutuhkan oleh anak
Secara akal sehat ―dan telah dibuktikan dalam penelitian― seseorang akan lebih bahagia jika penghasilannya cukup. Dalam arti, penghasilannya dapat memenuhi kebutuhan dasar dan merasa puas terhadap apa yang telah dimiliki. Karena itu, jangan melimpahi anak dengan berbagai benda yang tidak ia butuhkan. Ajari mereka untuk berbagi setiap kali ia mendapat hadiah.
Sebagai ilustrasi, ada seorang tokoh yang membagikan resep kebahagiaan anak-anaknya. Ia menganjurkan anak-anaknya menyumbangkan mainan lamanya setiap kali mereka mendapat mainan baru. Dengan latihan semacam ini, anak mendapatkan pelajaran bahwa kebahagiaan tidak perlu dilekatkan pada apapun.
4. Membangkitkan berbagai minat
Anak yang minatnya terbatas hanya menonton televisi akan merasa frustrasi jika listrik di rumahnya padam. Apalagi jika padam listrik itu terjadi ketika ia sedang meunggu acara kesayangannya. Bisa-bisa rasa kesalnya tidak akan segera hilang walaupun listrik sudah menyala kembali.
Nah, daripada anak kehilangan kebahagiaan hanya karena ada sesuatu yang tidak beres, lebih baik kita mengembangkan berbagai minatnya sejak dini. Jika anak memiliki kelebihan bermain piano, pujian dari orang-orang di sekitarnya akan membuat anak lebih perhatian terhadap minatnya tersebut. Namun anak akan menjadi lebih bahagia jika kita dapat membimbingnya untuk melakukan berbagai aktivitas lain yang digemarinya, seperti membaca, olahraga, mendengarkan musik, melukis.
5. Mengajarinya untuk tabah
Semua orang, tak terkecuali orang yang memiliki karakter bahagia sekalipun, pasti pernah merasa sedih atau frustrasi. Bedanya, orang yang berkarakter bahagia lebih cepat pulih dibanding yang tidak.
Kita dapat membantu keterampilan tersebut dengan menunjukkan pada anak kita cahaya di tengah kegelapan. Hal ini bisa diartikan jika masalah tidak mampu diatasi oleh anak kita dengan perubahan sikap, maka kita dapat membantunya dengan menemukan sumber yang bisa memberinya kenyamanan.
Sebaiknya kita cepat mengambil tidakan jika anak menampakkan perubahan tingkah laku seperti makan berlebihan atau agresif. Ajarkan ia untuk memperbaiki suasana hati dan memperoleh ketenangan melalui berbagai kegiatan, seperti melukis, mendengarkan musik, menari, atau relaksasi. Perkenalkan Tuhan pada anak-anak sejak dini, sehingga dalam kesedihan ia tidak merasa sendirian karena mempunyai ‘pegangan’.
6. Kita harus merasa bahagia
Ya, agar karakter bahagia anak-anak kita terbentuk dengan baik, mereka juga perlu melihat contoh nyata bahwa kita juga bahagia. Kebahagiaan anak kita antara lain bersumber dari lingkungan yang diciptakan orangtua yang berbahagia.
Kita tidak bisa berpura-pura bahagia, karena sebelum memahami bahasa, anak sudah bisa merasakan suasana marah, cemas, atau bahagia. Tunjukkan pada anak-anak kita, hal-hal yang membuat kita bahagia. Dengan kita membicarakannya pada anak, anak akan mengenali, menghargai, bahkan membantu menciptakan perasaan itu lebih sering. (SA)