6. Tayangan kekerasan di televisi atau games
Adegan kekerasan yang ditampilkan di televisi atau games online, juga bisa menguatkan tingkah laku agresif pada anak-anak yang sudah berisiko mengalami gangguan tingkah laku. “Saya tidak mengatakan bahwa tayangan kekerasan merupakan kontributor utama, karena si anak memang telah memiliki kecenderungan kepribadian sedemikian rupa,” kata Octa.
Yang perlu diwaspadai, menurut Octa, adalah bahwa anak-anak dengan gangguan tingkah laku ini cenderung memilih tayangan televisi dan games yang agresif atau bahkan sadis. Padahal, ditambahkan Octa, tayangan televisi dan games online bersifat adiktif, anak akan terpaku dan banyak menghabiskan waktu di depan televisi dan komputer.
“Lingkungan dan pengalaman yang secara konsisten menampilkan tingkah laku agresif akan semakin menguatkan tingkah laku agresif anak. Penalaran moral anak tidak berkembang, dan mereka semakin sulit membedakan mana yang benar dan mana yang salah, yang penting ia memperoleh yang ia mau,” ungkapnya.
Untuk menghindarkan terjadinya penguatan tingkah laku agresif, Octa menganjurkan untuk membatasi akses terhadap tayangan kekerasan. “Batasi durasinya, dan dampingi anak selama menonton atau bermain games,” saran Octa.
7. Kemiskinan
Harus diakui, kemiskinan berkontribusi juga pada munculnya gangguan tingkah laku pada anak. “Kemiskinan meningkatkan tekanan (stres) pada keluarga. Orangtua akan sangat sibuk bekerja untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Kondisi ini pada akhirnya akan berpengaruh terhadap pola asuh orangtua pada anak,” papar Octa.
Tak hanya itu, kemiskinan juga akan membuat seseorang tidak mampu meneruskan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, dan akibatnya, menghalanginya untuk mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang cukup.
“Orang berpenghasilan rendah biasanya hidup di lingkungan yang keras. Anak yang terus-menerus terpapar dengan kekerasan semakin rentan untuk memunculkan tingkah laku agresif, dan akhirnya berkembang menjadi sadisme,” kata Octa, lagi.
Meski begitu, Octa menegaskan, kemiskinan bukanlah penyebab anak dengan gangguan tingkah laku melakukan tindakan agresif. “Mereka melakukannya (mencuri, memukul, dan sebagainya) dengan sengaja hanya untuk memperoleh apa yang ia inginkan. Bahkan, anak dengan conduct disorder yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi menengah atas tetap dapat melakukan tingkah laku agresif semata-mata untuk memperoleh yang ia inginkan,” jelasnya.
Apa yang harus dilakukan?
Dengan tegas Octa mengungkap bahwa penahanan bukanlah bentuk penanganan yang tepat, bagi anak-anak pelaku tindakan kekerasan. “Penahanan tidak terlalu banyak membantu, bahkan membuat anak dengan gangguan tingkah laku semakin dekat dengan dunia kriminalitas.” Octa melanjutkan, “Yang perlu dilakukan untuk anak-anak yang masih berada di bawah umur ini adalah melakukan modifikasi lingkungan.”
Octa meyakini, angka kejadian perilaku sadisme di kalangan anak-anak bisa meningkat jika tidak dilakukan tindakan yang tepat dan cepat terhadap faktor-faktor yang berkontribusi terhadap berkembangnya gangguan psikis ini. “Yang terutama harus ditangani adalah faktor keluarga,” tegas Octa.
Ia menambahkan, “Apabila orangtua si anak tidak capable atau tidak layak mengasuh anaknya dengan baik, maka seharusnya anak diasuh oleh Negara, dengan memberikan modifikasi lingkungan yang dapat memberikan intervensi yang tepat sehingga anak bisa mengembangkan penalaran moral dan tingkah laku yang terkendali.”
Karena kompleksnya penyebab conduct disorder, masalah gangguan tingkah laku pada anak-anak ini menurut Octa harus ditangani bersama.
Guru, misalnya, harus ditingkatkan pengetahuannya mengenai kesehatan mental, dan memberikan perhatian besar kepada murid-muridnya sehingga bisa segera mendeteksi adanya masalah tingkah laku. Kemudian merancang intervensi yang tepat bersama psikolog, dokter, atau psikiater dan tenaga ahli kesehatan mental lainnya. Penyiagaan dan peningkatan kualitas tenaga kesehatan,seperti mantri, bidan, dokter umum di puskesmas dan sebagainya, yang sehari-hari berinteraksi langsung dengan warga juga diperlukan.
Octa juga mendorong pemerintah untuk merancang sistem rujukan dan jaminan kesehatan sehingga anak-anak yang mengalami gangguan tingkah laku dapat terdeteksi sejak dini dan segera diintervensi. Melihat banyaknya tindakan yang harus dilakukan serta pihak-pihak yang harus diikutsertakan dalam mengatasi masalah kekerasan di kalangan anak-anak ini – mulai dari orangtua, guru, tenaga kesehatan, dan bahkan pemerintah – bernarlah apa yang dikatakan oleh Kak Seto dalam satu kesempatan, “Ketika ada kekeliruan terhadap anak, maka semua pihak harus berani menginterospeksi diri masing-masing.” (SA)