Ketiga, cara makan konvensional menekankan kelompok-kelompok makanan utama. Dalam hal ini para Sufi mempunyai pendekatan yang agak berbeda. Jika jiwa (soul) sebagai esensi diri kita merupakan bagian terpenting manusia, begitu pula esensi makanan merupakan elemen terpenting yang harus dijaga agar khasiatnya tidak hilang.
Sejalan dengan pemikiran ini, maka dapur adalah bagian rumah yang paling penting karena di ruangan ini esensi makanan diekstraksi dan kesehatan seluruh keluarga ditentukan.
Keempat, bagi para sufi menyiapkan makanan buat orang lain adalah perbuatan yang sangat terpuji karena bisa memberikan efek penyembuhan pada orang lain tersebut. Saat memotong atau menghaluskan bumbu, para Sufi mempunyai kebiasaan untuk memanjatkan doa agar makanan yang sedang disiapkan mendatangkan kesehatan bagi orang yang menyantapnya.
Karena itu makan di restoran tidak bisa disamakan dengan makan di rumah. Apalagi jika tukang masaknya sedang kesal, vibrasi negatif ini akan mempengaruhi makanan yang disiapkan.
Kelima, menurut perspektif para sufi, agar manfaat dan tujuan menyantap makanan terpelihara, sebelum memasukkan makanan ke dalam mulut, berhentilah sejenak dan ingat: dari mana datangnya makanan ini dan apa tujuan mengkonsumsinya?
Bagi seorang Sufi, makan merupakan kesempatan bersilatulrahmi, mengungkapkan rasa syukur, dan mendedikasikan diri agar kembali ke tujuan utama kehidupan yaitu mendekatkan diri kepada Allah.
Keenam, sebelum makan katakan “Bismillahirahmanirrahim: demi Allah yang maha pengasih, maha penyayang. Ya Allah! Saya menyantap makanan ini agar saya menjadi hambaMu yang lebih baik. Berkahilah makanan ini agar membuat jiwaku dan jiwa semua saudara-saudaraku menjadi lebih kuat, lebih baik, dan lebih mulia. Amin.”