Emosi dan kondisi jantung saling mempengaruhi
Ternyata diketahui hal ini sudah dimulai sejak janin dalam kandungan saat detak jantung janin bersamaan iramanya dengan ibunya. Heart-to-heart synchrony antara jantung ibu dan janinnya terus berlangsung sampai kelahiran.
Ketika itu jantung bayi berdetak secara ritmis seirama dengan detak jantung ibunya ketika bayi dipertemukan dengan sang ibu setelah melahirkan.
“Ini sungguh menakjubkan bahwa seseorang mampu mengubah fisiologis orang lain tanpa saling bersentuhan, hanya dengan saling merasakan ritmik atau irama detak jantung dan napas mereka,” kata Ruth Feldman, psikolog dari Bar-Ilan University di Israel.
Penelitiannya menemukan adanya interaksi dini antara ibu dan janin yang dikandungnya yang berlanjut sampai janin tersebut dilahirkan.
“Sinkronisasi detak jantung antara ibu dan bayinya sangat mendasar dalam hubungan komunikasi mereka, dan meresap dalam hubungan yang erat antara ibu dan bayinya, sampai lama kemudian. Adanya sinkronisasi tersebut pada tahun pertama kelahiran membuat bayi mampu menunjukkan rasa empati dan membaca emosi ibunya dengan baik,” tutur Ruth Feldman.
Sebaliknya, jika hubungan tersebut terkoyak sehingga tidak terjadi sinkronisasi detak jantung antara ibu dan bayinya yang disebabkan kelahiran prematur atau depresi setelah melahirkan (postpartum depression), akibatnya bisa mendalam dan berkelanjutan. Si bayi setelah dewasa akan sulit menjalin hubungan sehat dengan siapa pun. Demikian kata Ruth Feldman.
Bukannya tidak sinkronnya detak jantung ibu dan bayinya kelak mempengaruhi kesehatan jantung bayi setelah dewasa, melainkan mempengaruhi kerentanan jantung terhadap hal-hal yang emosional.
Jantung menjadi rentan terhadap keadaan-keadaan ekstrim seperti penolakan, kemarahan, stres dan depresi. Bahkan terhadap kondisi yang mendadak seperti kesedihan dan kebahagiaan. Jantung bisa berhenti mendadak.
Psikolog Brooks Gump dari State University of New York menemukan dalam penelitiannya bahwa respons kardiovaskuler anak-anak di New York sebelum terjadi serangan 9/11 gedung World Trade Center berbeda dengan setelah serangan.
Respons jantung mereka kini lebih rentan, artinya jantungnya mudah berhenti bekerja jika menderita stres atau depresi. “Ternyata terorisme mempengaruhi respons terhadap stres, dan ancaman kronis terorisme dapat meningkatkan risiko sakit jantung,” demikian Brooks Gump. (SA)