“Jumlah kasus DBD per 11 Maret 2020 tercatat sebanyak 17.820 kasus,” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular, Vektor dan Zoonotik Siti Nadia Tarmizi dalam konferensi pers yang digelar di Kemenkes.
Sehatalami.co ~ Selain Covid-19 yang menghebohkan dunia, ternyata ada kasus penyebaran penyakit mematikan lain yang luput dari perhatian masyarakat. Yaitu penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Dalam konferensi pers Kemenkes yang digelar Rabu (11/3/2020), Kementerian Kesehatan (Kemkes), mencatat sebanyak 17.820 kasus penularan Demam Berdarah Dengue ( DBD) di seluruh Indonesia.
“Jumlah kasus DBD per 11 Maret 2020 tercatat sebanyak 17.820 kasus,” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular, Vektor dan Zoonotik Siti Nadia Tarmizi dalam konferensi pers yang digelar di Kemenkes.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Siti Nadia, data tersebut terpantau sejak Januari hingga 11 Maret 2020. Jumlah ini tercatat jauh lebih banyak jika dibandingkan kasus positif virus corona (Covid-19) di Indonesia yang berjumlah 34 kasus hingga 11 Maret 2020.
Menurut Siti, penularan secara cepat DBD terjadi di Indonesia pada awal 2020 ini. “DBD itu penyakit yang berpotensi menjadi wabah dan kejadian luar biasa (KLB) dikarenakan kecepatan penularannya. Jadi mengapa tiba-tiba (jumlah) kasus tiba-tiba melonjak jadi tinggi? Sebab ini karena proses penularan tetap terjadi,” ujar Siti di Kantor Kemenkes, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (11/3/2020).
Dia menjelaskan, ada dua kondisi yang menjadi pemicu penularan DBD yakni iklim tropis Indonesia dan keberadaan nyamuk Aedes aegypti. “Individu butuh waktu 5-7 hari setelah tergigit nyamuk Aedes aegypti, lalu baru muncul gejala klinis DBD. Tetapi bisa jadi orang tidak merasakan gejala klinis, padahal dia sudah positif tertular DBS. Kalau daerah yang nyamukmya banyak, ya (risiko) penularan cepat terjadi,” jelas Siti.
Lebih lanjut, Siti merinci ada 10 provinsi dengan kasus penularan DBD tertinggi. Secara berurutan, ke-10 provinsi dengan penularan tertinggi tersebut adalah Lampung (3.423 kasus), NTT (2.711 kasus), Jawa Timur (1.761 kasus), Jawa Barat (1.420 kasus). Disusul Jambi (703 kasus), Jawa Tengah (648 kasus), Riau (602 kasus), Sumatera Selatan (593 kasus), DKI Jakarta (583 kasus) dan NTB (558 kasus).
Kemudian, tercatat pula 10 kabupaten/kota dengan kasus penularan DBD tertinggi, yakni Kabupaten Sikka (1.216 kasus), Kabupaten Lampung Selatan (664 kasus), Kabupaten Pringsewu (591 kasus), Kabupaten Lampung Tengah (490 kasus). Selanjutnya, Kabupaten Lampung Timur (378 kasus), Lampung Utara 270, Kota Bandar Lampung (270 kasus), Kabupaten Belitung (256 kasus), Kota Bandung (218 kasus) dan Malang (218 kasus).
Ada 104 kasus kematian akibat DBD
Siti mengatakan, sejauh ini sudah ada 104 kematian yang disebabkan penularan DBD, berdasarkan pantauan Kemenkes sejak Januari hingga 11 Maret 2020. “Angka kematian (akibat DBD) tercatat 104 kejadian. Untuk angka kematian di NTT tertinggi, yakni dengan 32 orang meninggal,” ujar Siti di Kantor Kemenkes, Kuningan, Jakarta Pusat, Rabu (11/3/2020).
Dari 32 kematian itu, lanjut dia, sebanyak 14 kasus kematian di antaranya terjadi di Kabupaten Sikka. Adapun mayoritas warga yang meninggal adalah anak-anak berusia di bawah 14 tahun. Siti mengungkapkan, karena itulah, Kabupaten Sikka menjadi perhatian khusus pemerintah dalam hal penularan DBD.
Hingga saat ini, Kabupaten Sikka masih berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB) DBD. Dia melanjutkan, angka kematian di NTT tinggi karena sejumlah hal.
Apa yang menjadi faktor penyebaran DBD begitu cepat? Salah satunya adalah faktor faktor lingkungan, yang mana banyak terdapat lokasi tempat bertelur nyamuk Aedes aegypti. “Lalu, tidak dilakukan pencegahan sebelum masa penularan DBD. Kemudian, tempat perindukan nyamuk tidak dibersihkan,” tutur Siti. (SA)