Pada umumnya diagnosa alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosa yang sifatnya klinis, yakni dengan mengetahui riwayat penyakit, riwayat keluarga, riwayat pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak kecil.
Tes alergi dengan menyuntikkan alergen tertentu pada kulit cukup populer. Namun tes ini kurang efektif karena yang sering terdeteksi adalah proses reaksi cepat (yang timbul dalam waktu kurang dari 8 jam) seperti bila makan udang, maka timbul gatal-gatal. Namun proses alergi makanan yang reaksinya lambat (lebih dari 8 jam) sering tidak terdeteksi.
Selain tes kulit, ada cukup banyak tes alergi. Di antaranya adalah pemeriksaan lemak tinja, pemeriksaan pelepasan histamin oleh basofil (basofil histamine release assay), biopsi usus sebelum dan setelah pemberian makanan, hingga cara alternatif seperti pemeriksaan otot (kinesiologi terapan), pemeriksaan kulit elektrodermal, cytotoxic food testing, analisa rambut, tes nadi, dan metode refleks telinga dan jantung.
Menurut Dr Widodo, tes yang dinilainya paling efektif adalah metode provokasi makanan secara buta, disebut Double Blind Placebo Control Food Challenge (DBPCFC). Sayangnya, metode ini sangat rumit dan membutuhkan biaya serta waktu yang cukup banyak.
Namun ada juga cara mudah untuk mendeteksi alergi yang bisa dilakukan sendiri, yaitu metode eliminasi dan provokasi. Dalam metode ini, penderita harus menghindari beberapa makanan yang dicurigai sebagai penyebab alergi selama 2 sampai 3 minggu.