Anda pernah mengalami ‘broken heart’? Waspadalah terhadap broken heart syndrome. Sebab jika tidak dikelola dengan baik, broken heart bisa membuat jantung Anda benar-benar broken.
Sehatalami.co ~ Beberapa tahun belakangan ini hasil jerih payah para ahli jantung yang makin mempertajam dan memperluas penelitian tentang hubungan antara “pikiran kacau” dengan gangguan penyakit jantung agaknya semakin nyata.
Dikutip dari majalah Psychology Today yang mengangkat masalah ini, mereka menemukan suatu kondisi yang mereka sebut broken heart syndrome. Selama ini orang sudah mengetahui adanya hubungan antara depresi dan kemarahan dengan penyakit jantung, tetapi penemuan terbaru semakin memantapkan bahwa faktor pikiran (stres, depresi, marah besar) ternyata menjadi risiko serangan jantung.
Penelitian ini dipicu oleh suatu kejadian di Essex, Inggris, pada tahun 1996, ketika seorang bayi berusia 11 minggu meninggal mendadak. Ibunya, Sally Clark, kemudian hamil lagi dan melahirkan bayi laki-laki yang juga kemudian meninggal tanpa sebab pada usia 8 minggu.
Jadilah Sally tertuduh sebagai pembunuh kedua bayinya. Ia pun dijatuhi hukuman penjara. Beberapa tahun kemudian seorang dokter berhasil membuktikan bahwa kematian kedua bayi Sally bukan dibunuh ibunya melainkan disebabkan suatu kelainan pernapasan. Maka pada tahun 2003 Sally dilepas dari penjara.
Tetapi, Sally menderita depresi berat dan selalu dihantui kehidupannya ketika masih di penjara. Ia lebih banyak mengurung diri di dalam rumah. Perkawinannya pun hancur. Dan pada Maret 2007 Sally meninggal dunia dalam usia 44 tahun tanpa diketahui penyebabnya.
Jantungnya berhenti bekerja begitu saja, Sally bukan pasien jantung dan keadaan jantungnya baik-baik saja. Namun gejalanya memang mirip penyakit jantung, karena itu para ahli menyebutnya broken heart syndrome. “Sally meninggal karena broken heart,” tulis media massa.
Apa itu broken heart?
Broken heart atau biasa disebut juga heartbreak mengacu pada metafor yang digunakan untuk menyatakan penderitaan emosi yang mendalam disebabkan meninggalnya seseorang (teman hidup, anak, orangtua, sahabat) dekat yang sangat dicintai.
Perceraian juga bisa memicu broken heart syndrome. Meskipun secara fisik tidak ditemukan adanya cedera, namun trauma kejiwaan memicu otak memproduksi zat kimia secara berlebihan yang dapat melemahkan jaringan jantung.
Peristiwa Sally memicu kembali para ahli yang pada tahun 1999 telah meneliti kasus-kasus “broken heart” untuk mendalami masalah broken heart. Hasil penelitian mereka menemukan adanya orang-orang yang jantungnya rentan terhadap stres dan depresi. Kerentanan ini sudah terbentuk sejak janin masih dalam kandungan.
Para ahli kemudian mengidentifikasi tipe-tipe kepribadian dan temperamen yang membuat seseorang mudah mendapat serangan jantung. Bukan hanya stres berat dan ketakutan yang ekstrim saja (seperti yang dialami Sally di dalam penjara) yang bisa membuat orang jantungan, tetapi juga pekerjaan yang hanya mengulang-ulang (repetition) dan yang membosankan juga bisa membuat kita berisiko jantungan.
Dapat disimpulkan bahwa penelitian terakhir tentang jantung memantapkan adanya hubungan erat antara depresi, stres, dan penyakit jantung. Dengan mengetahui ini, kita diharapkan bisa menghindari sakit jantung kardiovaskuler yang merupakan pembunuh utama. (bersambung).